Kanker servik jadi pembunuh wanita

Tahukah Anda, bahwa dalan setiap jam wanita di Indonesia meninggal akibat kanker serviks atau lebih dikenal dengan kanker mulut rahim. Bahkan dalam setiap menit wanita di seluruh dunia meninggal karna kanker yang mematikan ini.

Beda Hormon LH dan FSH

FSH dan LH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior, sebuah kelenjar kecil yang hadir di bagian bawah otak. FSH pada dasarnya menyebabkan pematangan sel telur di dalam folikel dalam tubuh wanita.

Manfaat Bawang Putih

Khasiat atau manfaat bawang putih ternyata tidak hanya untuk menyedapkan atau sebagai bumbu masakan saja, namun ternyata banyak hal lain yg dapat di manfaatkan dari bawang puth tersebut terutamanya untuk dunia kesehatan.

Toko Kayumanis

Selamat datang di Toko Kayumanis version Online Shop Kami menjual T-shirt, kaos oblong dan jaket T-shirt, kaos oblong dan jaket yang kami jual menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, kelebihan dari T-shirt, kaos oblong dan jaket di Toko kami dapat anda tentukan sendiri desainnya, pola ataupun grafisnya sesusai keinginan anda sehingga dapat dipastikan tidak ada T-shirt, kaos oblong dan jaket dari Toko kami yang mempunyai motif yang sama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 April 2011

Hidup Dengan makanan Transgenik

Pangan transgenik atau GMO (genetically modified organism) adalah penganan yang bahan dasarnya berasal dari organisme hasil rekayasa genetika. Teknologi ini sebenarnya bertujuan mulia, yakni meningkatkan dan menyempurnakan kualitas pangan. Dengan bioteknologi ini, gen dari berbagai sumber dapat dipindahkan ke tanaman yang akan diperbaiki sifatnya.
Gen adalah kumpulan molekul ADN (asam deoksiribonukleat) yang mengatur sifat dan karakter makhluk hidup. Nah, dengan kecanggihan teknologi rekayasa genetika ini, gen dengan karakter tertentu dari sebuah sumber (baik itu tanaman, hewan, atau bakteri) dapat dipindahkan atau dicangkokkan ke sel lain dengan harapan bisa membentuk dan menghasilkan tanaman unggul seperti yang diharapkan.
Sebagai contoh, tomat yang awalnya tidak bisa ditanam di daerah bersuhu rendah direkayasa supaya dapat menjadi tanaman tahan beku dan memiliki musim tumbuh lebih lama. Caranya sungguh unik, yakni dengan “menggunting” gen ikan flounder (ikan yang hidup di daerah es di Arktik) dan “merekatkan” gen tersebut pada buah bulat merah ini. Hasilnya, tomat pun dapat ditanam di segala cuaca. Contoh lain adalah kedelai yang rawan akan hama lantas disisipi bakteri dari tanah yang mampu mengeluarkan pestisida alami. Alhasil, hama yang menyerang kedelai akan mati dengan sendirinya. Ini tentu kabar baik bagi petani, sebab mereka bisa meminimalkan penggunaan pestisida kimia.
Hingga saat ini terdapat ratusan jenis tanaman transgenik. Sebagian besar memang belum dilepas ke pasaran sebab masih dalam penelitian. Namun, hingga tahun 2004 tercatat ada sekitar 24 sampai 30 jenis tanaman hasil rekayasa genetika yang telah dikomersialisasikan. Sebagian produk transgenik yang paling populer, termasuk di Indonesia adalah kapas, kedelai (beserta olahannya seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, dan lain-lain), tomat (beserta olahannya seperti saus, jus, dan lain-lain), jagung (beserta olahannya seperti minyak jagung, keripik, popcorn, dan lain-lain), kanola (beserta olahannya seperti minyak). Produk-produk ini, tanpa disadari masyarakat luas telah beredar bebas di Indonesia dari pasar-pasar tradisional hingga supermarket dan hipermarket.
CATATAN BURUK
Masalahnya, di Indonesia belum ada perangkat untuk mengontrol produk transgenik yang beredar. Alhasil pemerintah belum dapat melakukan kajian untuk menetapkan bahan pangan produk transgenik apa yang boleh dan tidak boleh masuk ke sini dan dikonsumsi manusia. Contohnya, ada bibit kedelai transgenik yang diperuntukkan untuk pakan ternak saja. Bagaimana bila karena ketidaktahuan masyarakat atau petani kemudian bibit impor ini ditanam lalu hasilnya dikonsumsi oleh kita? Pangan hewan jelas tidak cocok bahkan berbahaya jika dimakan manusia.
Kekhawatiran lain adalah pangan hasil rekayasa genetika ini berisiko mengandung senyawa toksik (racun), alergen (pemicu alergi), dan telah mengalami perubahan nilai gizi. Tak bisa dipungkiri, teknologi ini memang sempat menorehkan catatan buruk di Amerika. Beredarnya suplemen kesehatan transgenik yang mengandung L-tryptophan pada tahun 1989 di negeri Paman Sam mengakibatkan 37 orang meninggal, 1.500 menderita cacat, dan 5.000 orang dirawat di rumah sakit akibat EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome/sindrom dengan gejala nyeri otot yang parah dan disertai meningkatnya jumlah sel darah putih).
Dalam kasus ini, L-tryptophan dihasilkan dari fermentasi bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam aminonya, perusahaan pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa gen bakteri Bacillus amyloliquefaciens tersebut. Pada saat bersamaan perusahaan asal Jepang ini juga mengurangi penggunaan karbon aktif yang diperlukan untuk penyaringan. Ada ahli yang menyatakan, bakteri yang ditransfer mengalami reaksi sampingan, yaitu membentuk senyawa baru yang serupa dengan tryptophan tetapi dampaknya cukup mematikan bagi manusia. Namun ada juga yang mengatakan EMS akibat tryptophan ini diakibatkan proses penyaringan yang tidak sempurna (akibat karbon aktif yang direduksi). Jadi bukan disebabkan penggunaan transgenik bakteri.
Terlepas mana pendapat yang benar, beberapa negara pada akhirnya begitu ketat menyaring produk transgenik melalui serangkaian pengujian. Hasilnya, setiap produk yang dibuat dari bahan transgenik atau olahannya dan dijual ke pasaran, diberi label keterangan kandungan bahan transgenik tersebut.
UJI KEAMANAN
Kasus L-trytophan tersebut tentu bukan untuk menakut-nakuti tapi lebih sebagai pengetuk hati nurani pemerintah agar lebih menyadari pentingnya pengujian keamanan produk pangan transgenik. Seperti yang diutarakan Purwiyatno Hariyadi, PhD, dari Seafast Center IPB-Bogor, “Sebenarnya pangan transgenik yang telah lolos pengujian akan sama amannya dengan produk sejenis yang bukan transgenik/alami.”
Untuk itu, proses meloloskan pangan transgenik ke pasaran harusnya tidaklah mudah karena butuh uji keamanan yang panjang. Bahkan, pengujian keamanan produk pangan transgenik ini harus lebih ketat dan serius dibandingkan jenis makanan lain. Misalnya, pangan transgenik harus terbukti tidak mengandung bahan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen (tidak menyebabkan alergi, tidak mengandung racun), dan harus memiliki gizi yang setara dengan pangan sejenis yang alami.
sebenarnya tidak masalah pangan transgenik beredar di masyarakat asalkan produk itu terbukti aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Serangkaian uji pangan yang harus dilakukan untuk membuktikan keamanannya, yaitu:
1. Uji alergisitas, untuk mengetahui ada tidaknya zat pemicu alergi.
2. Uji toksisitas untuk melihat adakah racun pada pangan.
3. Uji imunitas apakah pangan itu membahayakan daya tahan tubuh atau tidak.
4. Uji lain yang mendukung.
“Tahapan uji keamanan ini sesuai dengan UU Pangan No. 7/1996, dimana pasal 13 ayat 1 dan 2 mengatur kewajiban produsen untuk menguji keamanan pangan yang dihasilkan proyek rekayasa genetika sebelum diedarkan ke masyarakat. Setelah itu, tentu produk harus diberi label mengandung bahan transgenik atau tidak. Selanjutnya tentu hak konsumen untuk memilih apa yang diinginkan,” kata Ilyani.
Kalau sampai saat ini aturan pelabelan tersebut belum bisa terwujud di Indonesia, itu karena belum ada badan yang berwenang menentukan keamanan pangan hasil rekayasa genetika termasuk di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sendiri. “Anehnya, lembaga belum terbentuk namun, kok, produk transgenik sudah dibiarkan bebas beredar di pasaran. Ini yang membuat bingung masyarakat,” sesal Ilyani.
BPOM belum memberikan registrasi pada produk pangan transgenik karena belum ada satu pun produsen yang mengajukan permohonan izin untuk mengedarkan produk pangan tersebut di Indonesia.
Soal isu banyaknya penganan hasil rekayasa genetika yang telah beredar di masyarakat, menurut Nining, sudah ditindaklanjuti oleh BPOM dan hasilnya isu tersebut tidak terbukti kebenarannya. Beberapa produsen produk susu, sereal, serta tempe dan tahu yang dicurigai mengandung bahan-bahan transgenik menurut Nining ternyata mampu menunjukkan sertifikat GMO Free atau bebas transgenik.
Nah, bagaimana ini? Penjelasan yang berkaitan dengan pangan transgenik di halaman berikut semoga dapat membantu konsumen untuk bersikap bijak memilih bahan pangan dan penganan di pasaran.
BAGAIMANA JIKA TAK ADA LABEL?
BPOM harus segera membentuk divisi uji keberadaan dan keamanan produk berbahan transgenik, serta meminta produsennya mencantumkan identifikasi ini.
Membedakan pangan transgenik dan pangan alami dengan mata telanjang jelas sulit. Kecuali jika pangan transgenik tersebut memiliki ciri khas. Sayangnya ciri itu pun belum tentu dapat dikenali seketika, contohnya kita perlu menunggu beberapa hari untuk melihat apakah sebutir tomat tahan busuk atau tidak untuk membuktikan bahwa asalnya adalah bibit transgenik. “Sepengetahuan saya hingga saat ini belum ada cara cepat mendeteksi dan membedakan pangan transgenik dan bukan. Pendeteksian hanya mungkin dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang agak rumit yakni dengan teknik analisis PCR (polymerase chain reaction)
Dengan begitu, satu-satunya cara bagi awam untuk mengenali produk transgenik ini ya dari label pada kemasan produk.
Namun kenyataannya, karena berbagai keterbatasan yang ada di Indonesia, pelabelan ini tidak berjalan mulus. Jadi bagaimana dong kita mengetahuinya?
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memberikan sedikit petunjuk, jika produk-produk dalam daftar berikut ini tidak mencatumkan kandungannya secara eksplisit sebagai bahan organik maka besar kemungkinan produk tersebut adalah penganan hasil rekayasa genetik.
Beberapa bahan makanan yang banyak berasal dari bibit transgenik
· Produk yang terbuat dari kacang kedelai: tepung kedelai, minyak kedelai, tahu, tempe, tauco, susu kedelai, ekstrak sayuran. Atau produk lain yang merupakan turunan kedelai transgenik seperti vitamin E, sereal, es krim, biskuit, roti, permen, makanan gorengan, tepung, saus, dan lain-lain.
· Produk yang terbuat dari jagung: tepung jagung, minyak jagung, pemanis jagung, sirop jagung. Kemudian produk turunan jagung transgenik seperti vitamin C, keripik, es krim, formula bayi, kecap, soda, dan lain-lain.
· Produk yang terbuat dari kentang: keripik kentang, tepung kanji kentang, dan lain-lain.
· Produk yang terbuat dari atau dengan tomat, seperti saus, pasta tomat, pizza, lasagna, dan lainnya.
· Produk susu yang diambil dari sapi yang diberi hormon pertumbuhan sapi transgenik (atau rBGH di AS): seperti susu, keju, mentega, krim asam, yogurt, air dadih, dan produk olahannya.
· Zat-zat aditif yang mungkin berasal dari sumber transgenik, yaitu Lesithin kedelai/lesithin (E322), pewarna karamel (E150), riboflavin (vitamin B2), enzim chymosin (enzim transgenik yang dipakai untuk membuat keju vegetarian, alpha amilase yang digunakan untuk membuat gula putih, dan lain-lain).
PLUS MINUS MAKANAN TRANSGENIK
Penemuan teknologi akan selalu menjadi pisau bermata dua bagi manusia. Di satu sisi mendatangkan manfaat, namun di sisi lain ada risiko yang harus ditanggung bila kita tidak bijak menggunakannya. Seperti apa dampak dan manfaatnya?
DAMPAK & RISIKO
Dampak pangan transgenik pada kesehatan sangat bervariasi pada setiap orang. Sebagian mengeluhkan timbulnya alergi, kelainan darah, gangguan saraf, dan sebagian tidak mengeluhkan apa-apa. Nah, siapakah yang harus lebih waspada dalam mengonsumsi pangan transgenik?
· Anak yang memiliki riwayat alergi. Sangat mungkin bakat alerginya akan terpicu, entah kulit menjadi biduran, gatal-gatal, dan sesak napas.
· Anak dengan kebutuhan khusus. Tidak semua makanan aman dikonsumsi untuk anak dengan gangguan otak, termasuk produk transgenik karena bisa memicu hiperaktivitas atau gangguan lainnya.
· Ibu hamil. Penelitian pada tikus betina hamil yang diberi makan kedelai transgenik menunjukkan, tikus akan melahirkan anak yang terhambat pertumbuhannya dan sebagian lagi mati dalam beberapa minggu. Adanya temuan ini sebaiknya membuat ibu hamil lebih berhati-hati dengan cara tidak mengonsumsi satu jenis makanan dalam jumlah banyak dan terus-menerus serta selalu memvariasikan menu dan bahan makanannya.
· Orang sehat pun tetap harus waspada. Sampai saat ini, belum ada jaminan konsumsi produk pangan transgenik dalam jangka panjang tidak menimbulkan dampak kesehatan meskipun misalnya produk tersebut telah lolos dari serangkaian uji keamanan.
MANFAAT
Nah, bila ditinjau dari sisi manfaat, tanaman transgenik bisa dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan nutrisi atau komponen gizi yang lebih baik daripada pangan sejenis yang non-transgenik.
Contoh, tomat dan apel transegnik ternyata mengandung zat antioksidan dan antipenyakit degeneratif yang lebih tinggi daripada tomat dan apel biasa. Begitu juga dengan kanola transgenik, minyak yang dihasilkannya akan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih banyak dan baik. Ini tentu sangat baik bagi kesehatan jantung.
Secara umum pun, tanaman transgenik yang telah disetujui untuk pangan terbukti memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit, ketahanan yang lebih baik terhadap herbisida, memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dan daya simpan yang lebih lama ketimbang tanaman sejenis yang non-transgenik.
Zali
INI DIA PRODUK TRANSGENIK!
YLKI telah melakukan serangkaian penelitian untuk mengetahui apakah produk yang beredar di pasaran mengandung bahan transgenik atau tidak. Setiap tahun, YLKI memperbaharui penemuannya. Boleh jadi ada satu produk yang beberapa tahun lalu ditemukan menggunakan bahan transgenik, kini tidak lagi.
Penelitian terakhir pada 18 Oktober 2005, YLKI bekerja sama dengan PT. Saraswati Indogenetech melakukan serangkaian pengujian. Dilakukan secara kualitatif dengan metode PCR (polymerase chain reaction), dengan batas deteksi 0,05%. Hasil uji menunjukkan, 3 dari 11 sampel yang diuji (27%) memakai bahan hasil rekayasa genetik, yaitu:
1. Keripik kentang Mister Potato, produksi PT. Pasific Food Indonesia. No Depkes BPOM RI ML 255501031081.
2. Keripik kentang Pringles, diimpor oleh PT. Procter & Gamble Home Products Indonesia. No. Depkes BPOM RI ML 362204007321.
3. Tepung jagung Honig Maizena, diimpor oleh Fa. Usahana. No Depkes ML 328002001014.
YLKI juga melakukan serangkaian uji coba pada 2002. Sampel yang diambil merupakan produk pangan turunan kedelai dan jagung. Pengambilan sampel dilakukan secara acak di beberapa supermarket, hipermarket, dan pasar tradisional di Jakarta dengan jumlah sampel 25 (18 pangan turunan kedelai dan 7 pangan turunan jagung). Waktu pengambilan sampel hingga kontak produsen: September ­ Desember 2002. Pengujian dilakukan secara kualitatif dan dengan metode PCR dengan batas deteksi 0,05%. Hasilnya menunjukkan, 10 dari 18 pangan turunan kedelai (55,56%) positif mengandung rekayasa genetika, terdiri atas tahu, tempe, dan susu kedelai. Lalu 1 dari 7 turunan pangan jagung (14,29%) positif mengandung GMO. Sayangnya tidak ada label transgenik/GMO pada produk-produk tersebut.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Jumat, 29 April 2011

RESPONS SISTEM IMUN TERHADAP SEL KANKER

Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral.
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47 Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua yaitu humoral dan seluler.
1)Sistem Imun Humoral
Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh
tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.
Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu :
a) Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, Lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam
b) Complement Dependent Cytotoxicity, Di sini pengikatan antibodi ke permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C' 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang proses complement dependent citotoxicity

2) Sistem Imun Seluler
Peranan sistem imun seluler sel kanker Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK ,Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK.
a) Sitotoksitas melalui sel T
Sitotoksitas melalui sel T Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL). Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin (BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid. Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah pengaruh IL-2.

b) Sitotoksisitas melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT.Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya. Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi dan fungsi sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan
B. IMMUNOSURVEILLANCE KANKER
Immunosurveillance adalah suatu mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk bereaksi melawan setiap antigen yang diekspresikan oleh neoplasma. Fungsi primer dari sistem imun adalah untuk mengenal dan mendegradasi antigen asing (nonself) yang timbul dalam tubuh. Dalam immunosurveillance, sel mutan dianggap akan mengekspresikan satu atau lebih antigen yang dapat dikenal sebagai nonself. Sel mutan dianggap sering timbul dalam tubuh manusia dan tetapi secara cepat dihancurkan oleh mekanisme imunologis. Pada tikus yang kehilangan imunitas seluler dan terpapar agen onkogenik akan lebih cepat timbul tumor. Ini dianggap merupakan bukti mekanisme immunosurveillance. Pasien dengan stadium lanjut lebih sering dalam keadaan imunosupresi dibanding pasien stadium awal. Pasien yang memakan obat imunosupresif setelah transplantasi renal mengalami peningkatan insidensi keganasan (100 kali lebih besar dari kontrol). Hampir 50% tumor pada pasien imunosupresi berasal dari jaringan mesenkim, contohnya sarkoma sel retikulum, tapi insiden neoplasia intraepitelial seperti CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia) juga lebih banyak dilaporkan. Walaupun ada penjelasan bagaimana immunosurveillance mengatasi kanker, tapi kurang bukti bahwa mekanisme imun dapat menghalangi pertumbuhan kanker. Sel NK ternyata paling berperan dalam immunosurveillance tumor, ia dapat membunuh sel tumor langsung tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu. Dalam immunosurveillance dianggap ada keadaan imunosupresi yang menyertai keadaan tumbuhnya tumor, terutama depresi sel NK. Salah satu syarat induksi tumor dengan bahan karsinogenik pada hewan percobaan adalah adanya gangguan pada sistim imun terutama sel NK.

C. IMMUNOLOGICAL ESCAPE
Walaupun ada sistim immunosurveillance, kanker dapat luput dari pengawasan sistem imun tubuh bila faktor-faktor yang menunjang pertumbuhan tumor lebih berpengaruh dibanding dengan faktor-faktor yang menekan tumor, sehingga terjadi apa yang dinamakan immunological escape kanker. Faktor-faktor yang mempengaruhi luputnya tumor dari pengawasan sistem imun tubuh sebagai berikut:
1) Tidak adanya antigen yang sesuai Antigen baru mungkin tidak disintesis oleh semua tumor, mungkin tidak diekspresikan pada semua permukaan sel atau tidak dipresentasikan dalam bentuk yang sesuai sehingga respon imun gagal mengenal antigen tersebut.
2) Kinetik tumor (sneaking through) Pada binatang yang diimunisasi, pemberian sel tumor dalam dosis kecil akan menyebabkan tumor tersebut dapat menyelinap (sneak through) yang tidak diketahui tubuh dan baru diketahui bila tumor sudah berkembang lanjut dan di luar kemampuan sistem imun untuk menghancurkannya. Mekanisme terjadinya tidak diketahui tapi diduga berhubungan dengan vaskularisasi neoplasme tersebut.
3) Modulasi antigenik Antibodi dapat mengubah atau memodulasi permukaan sel tanpa menghilangkan determinan permukaan.
4) Masking antigen Molekul tertentu, seperti sialomucin, yang sering diikat permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit.
5) Shedding antigen/pelepasan antigen Antigen tumor yang dilepas dan larut dalam sirkulasi, dapat mengganggu fungsi sel T dengan mengambil tempat pada reseptor antigen. Hal itu dapat pula terjadi dengan kompleks imun antigen antibodi.
6) Toleransi Virus kanker mammae pada tikus disekresi dalam air susunya, tetapi bayi tikus yang disusuinya toleran terhadap tumor tersebut. Infeksi kongenital oleh virus yang terjadi pada tikus-tikus tersebut akan menimbulkan toleransi terhadap virus tersebut dan virus sejenis.
7) Limfosit yang terperangkap Limfosit spesifik terhadap tumor dapat terperangkap di dalam kelenjar limfe. Antigen tumor yang terkumpul dalam kelenjar limfe yang letaknya berdekatan dengan lokasi tumor, dapat menjadi toleran terhadap limfosit setempat, tetapi tidak terhadap limfosit kelenjar limfe yang letaknya jauh dari tumor.
8) Faktor genetik Kegagalan untuk mengaktifkan sel efektor T dapat disebabkan oleh karena faktor genetik.
9) Faktor penyekat Antigen tumor yang dilepas oleh sel dapat membentuk kompleks dengan antibodi spesifik yang membentuk pejamu. Kompleks tersebut dapat menghambat efek sitotoksitas limfosit pejamu melalui dua cara, yaitu dengan mengikat sel Th sehingga sel tersebut tidak dapat mengenal sel tumor dan memberikan pertolongan kepada sel Tc.
10) Produk tumor PG yang dihasilkan tumor sendiri dapat mengganggu fungsi sel NK dan sel K. Faktor humoral lain dapat mengganggu respons inflamasi, kemotaksis, aktivasi komplemen secara nonspesifik dan menambah kebutuhan darah yang diperlukan tumor padat.
11) Faktor pertumbuhan Respons sel T bergantung pada IL. Gangguan makrofag untuk memproduksi IL-1, kurangnya kerjasama di antara subset-subset sel T dan produksi IL-2 yang menurun akan mengurangi respons imun terhadap tumor.
12) Vaskularisasi Tumor mungkin mencapai diameter 1-2 mm sebelum terbentuk vaskularisasi. Pertumbuhan vaskuler merupakan pertumbuhan sel pejamu sendiri, sehingga endotel tumor dikenal sebagai self dan tidak ditolak, sehingga pada beberapa keganasan terus berproliferasi dengan antigen tersembunyi dibalik endotel vaskuler.

D. IMUNOKOMPETENSI PADA PENDERITA KANKER
Kelainan imunokompetensi terlihat pada penderita keganasan limforetikuler maupun tumor solid. Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid seperti Ca (Carcinoma) ovarium jarang dijumpai kelainan sel B. Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya. Walaupun gangguan sistem imunitas lebih berat pada kasus lanjut dan pada pasien yang diperkirakan tumornya akan kambuh kembali, namun korelasinya tidak pasti untuk digunakan dalam penanganan klinis pasien.
1) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan pembedahan Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan imunitas maksimal terjadi selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan dengan jumlah trauma operasi, lama prosedur dan imunokompetensi sebelum operasi. Dari penelitian hewan ternyata bahwa prosedur pembedahan dan anestesia mempengaruhi sistem imun. Stress anestesia dan pembedahan dapat merangsang pelepasan hormon termasuk glukokortikoid. Sel supresor juga dapat dirangsang, mungkin sebagai respons terhadap produk nekrosis jaringan. Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya. Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi Penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini. Namun splenektomi pada model hewan meningkatkan ketahanan terhadap pertumbuhan tumor, mungkin dengan gangguan terhadap produksi antibodi antitumor spesifik atau dengan menghilangkan sumber utama sel T supresor.
2) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan radioterapi Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat Radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten. Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel B, respons humoral biasanya tetap. Radiasi limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respons proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler, sel I CD 3, sel T CD 8, pada daerah tepi dalam 1-2 minggu, tapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi.
3) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan kemoterapi Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif terkecuali Bleomisin dan Vincristin dalam dosis terapeutik. Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi, level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD 4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD 8. Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Induksi sel supresor dapat dihambat glukokortikoid tapi sekali terpapar biasanya sel supresor akan relatif resisten terhadap steroid. Sel NK sensitif terhadap glukokortikoid, namun sel K resisten. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas. Kemampuan fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat. Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD 8 daripada sel T CD 4, pada dosis lebih tinggi sel T CD 8 dan sel T CD 4 menurun. Efek imunosupresif bahan pangalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi. Bahan pengalkil seperti siklofosfamid dapat menekan produksi antibodi, sedangkan antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Sitarabin, Metotreksat akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral menjadi resisten terhadap agen sitotoksik.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Kamis, 28 April 2011

Membedah Konsep Blum Dan Paradigma Sehat


Konsep hidup sehat H.L.Blum sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan. Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya masalah kesehatan.
Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.
Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini maka cara pandang kita terhadap kesehatan juga mengalami perubahan. Apabila dahulu kita mempergunakan paradigma sakit yakni kesehatan hanya dipandang sebagai upaya menyembuhkan orang yang sakit dimana terjalin hubungan dokter dengan pasien (dokter dan pasien). Namun sekarang konsep yang dipakai adalah paradigma sehat, dimana upaya kesehatan dipandang sebagai suatu tindakan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan individu ataupun masyarakat (SKM dan masyarakat).
Dengan demikian konsep paradigma sehat H.L. Blum memandang pola hidup sehat seseorang secara holistik dan komprehensif. Masyarakat yang sehat tidak dilihat dari sudut pandang tindakan penyembuhan penyakit melainkan upaya yang berkesinambungan dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam hal ini memegang kendali dominan dibandingkan peranan dokter. Sebab hubungan dokter dengan pasien hanya sebatas individu dengan individu tidak secara langsung menyentuh masyarakat luas. Ditambah lagi kompetensi dalam memanagement program lebih dikuasai lulusan SKM sehingga dalam perkembangannya SKM menjadi ujung tombak program kesehatan di negara-negara maju.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia justru, paradigma sakit yang digunakan. Dimana kebijakan pemerintah berorientasi pada penyembuhan pasien sehingga terlihat jelas peranan dokter, perawat dan bidan sebagai tenaga medis dan paramedis mendominasi. Padahal upaya semacam itu sudah lama ditinggalkan karena secara financial justru merugikan Negara. Anggaran APBN untuk pendanaan kesehatan di Indonesia semakin tinggi dan sebagian besar digunakan untuk upaya pengobatan seperti pembelian obat, sarana kesehatan dan pembangunan gedung. Seharusnya untuk meningkatan derajat kesehatan kita harus menaruh perhatian besar pada akar masalahnya dan selanjutnya melakukan upaya pencegahannya. Untuk itulah maka upaya kesehatan harus fokus pada upaya preventif (pencegahan) bukannya curative (pengobatan).
Namun yang terjadi anggaran untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui program promosi dan preventif dikurangi secara signifikan. Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya masyarakat yang kekurangan gizi, biaya obat untuk puskesmas meningkat, pencemaran lingkungan tidak terkendali dan korupsi penggunaan askeskin. Dampak sampingan yang terjadi tersebut dapat timbul karena kebijakan kita yang keliru.
KONSEP BLUM
Semua Negara di dunia menggunakan konsep Blum dalam menjaga kesehatan warga negaranya. Untuk Negara maju saat ini sudah fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga asupan makanan anak-anak mereka begitu dijaga dari segi gizi sehingga akan melahirkan keturunan yang berbobot. Kondisi yang berseberangan dialami Indonesia sebagai Negara agraris, segala regulasi pemerintah tentang kesehatan malah fokus pada penanggulangan kekurangan gizi masyarakatnya. Bahkan dilematisnya banyak masyarakat kota yang mengalami kekurangan gizi. Padahal dari hasil penelitian membuktikan wilayah Indonesia potensial sebagai lahan pangan dan perternakan karena wilayahnya yang luas dengan topografi yang mendukung. Ada apa dengan pemerintah?. Satu jawaban yang pasti seringkali dalam analisis kesehatan pemerintah kurang mempertimbangkan pendapat ahli kesehatan masyarakat (public health) sehingga kebijakan yang dibuat cuma dari sudut pandang kejadian sehat-sakit.

Dalam konsep Blum ada 4 faktor determinan yang dikaji, masing-masing faktor saling keterkaitan berikut penjelasannya :
1. Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Diperlukan suatu program untuk menggerakan masyarakat menuju satu misi Indonesia Sehat 2010. Sebagai tenaga motorik tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi dalam menggerakan masyarakat dan paham akan nilai kesehatan masyarakat. Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.
Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat. Sebab, apabila upaya dengan menjatuhkan sanksi hanya bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan.
2. Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran semua pihak.
Puskesmas sendiri memiliki program kesehatan lingkungan dimana berperan besar dalam mengukur, mengawasi, dan menjaga kesehatan lingkungan masyarakat. namun dilematisnya di puskesmas jumlah tenaga kesehatan lingkungan sangat terbatas padahal banyak penyakit yang berasal dari lingkungan kita seperti diare, demam berdarah, malaria, TBC, cacar dan sebagainya.
Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan. Sebagai mahluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan.
3. Pelayanan kesehatan
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat sangat besar perananya. sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat sebagai manager yang memiliki kompetensi di bidang manajemen kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program-program kesehatan. Utamanya program-program pencegahan penyakit yang bersifat preventif sehingga masyarakat tidaka banyak yang jatuh sakit.
Banyak kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti diare, demam berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif yang berkembang saat ini seperti jantung karoner, stroke, diabetes militus dan lainnya. penyakit itu dapat dengan mudah dicegah asalkan masyarakat paham dan melakukan nasehat dalam menjaga kondisi lingkungan dan kesehatannya.
4. Genetik
Seperti apa keturunan generasi muda yang diinginkan ???. Pertanyaan itu menjadi kunci dalam mengetahui harapan yang akan datang. Nasib suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu kita harus terus meningkatkan kualitas generasi muda kita agar mereka mampu berkompetisi dan memiliki kreatifitas tinggi dalam membangun bangsanya.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masa inilah perkembangan otak anak yang menjadi asset kita dimasa mendatang. Namun masih banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang bahkan buruk. Padahal potensi alam Indonesia cukup mendukung. oleh sebab itulah program penanggulangan kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat masih tetap diperlukan. Utamanya program Posyandu yang biasanya dilaksanakan di tingkat RT/RW. Dengan berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini status gizi masyarakat dan cepat dapat tertangani.
Program pemberian makanan tambahan di posyandu masih perlu terus dijalankan, terutamanya daeraha yang miskin dan tingkat pendidikan masyarakatnya rendah. Pengukuran berat badan balita sesuai dengan kms harus rutin dilakukan. Hal ini untuk mendeteksi secara dini status gizi balita. Bukan saja pada gizi kurang kondisi obesitas juga perlu dihindari. Bagaimana kualitas generasi mendatang sangat menentukan kualitas bangas Indonesia mendatang.
ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN PENGUASAAN KOMPETENSI DI KELAS, LABORATORIUM DAN LAHAN PRAKTIK OLEH MAHASISWA JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES PALEMBANG

Analisis Proses Pembelajaran

Perencanaan Proses Pembelajaran
Sebelum pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran dimulai, harus dibuat perencanaan berupa prosedur kerja, penetapan tujuan. Dengan dibuatnya perencanaan yang baik sehingga akan mudah menentukan langkah yang akan diambil untuk pelaksanaan proses pembelajaran. Perencanaan proses pembelajaran harus berdasarkan kurikulum, berpedoman pada kalender akademik untuk menyusun jadwal pelaksanaan proses pembelajaran, Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Tanpa adanya perencanaan sebelum suatu kegiatan dimulai tidak akan dapat mencapai tujuan pendidikan dan tujuan institusional sesuai dengan harapan. Tujuan pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar, alat-alat pelajaran dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan. Program pendidikan yang direncanakan sebelum kegiatan dimulai, dan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan diharapkan akan dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Jadi perencanaan yang matang sangat diperlukan dalam melakukan sesuatu hal yang ingin dicapai agar dapat mencapai tujuan secara maksimal. Apabila perencanaan tidak baik maka pencapaian tujuan tidak berjalan dengan semestinya karena tidak adanya pedoman dalam melaksanakan pekerjaan.

Pengorganisasian Proses Pembelajaran
Pengorganisasian proses pembelajaran sangat perlu dilakukan dengan baik karena dengan adanya pengorganisasian proses pembelajaran, adanya panduan berupa kerangka acuan, pembagian tugas mengajar, pencapaian kompetensi yang harus disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dosen yang bersangkutan. Cara penilaian kompetensi yang dicapai melalui evaluasi pada akhir sesi pembelajaran dan pada akhir semester, evaluasi dilakukan oleh institusi dan lahan praktik.

Pelaksanaan Proses Pembelajaran di Kelas
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas hampir tidak bermasalah kecuali mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik, dalam proses pembelajaran dengan beban studi 3 SKS. 1 SKS untuk teori dan 2 SKS untuk praktik laboratorium, untuk teori alokasi waktu yang tersedia 60 menit/ minggu selama 16 kali pertemuan. Kompetensi yang harus dicapai sangat tidak seimbang dengan alokasi waktu yang tersedia. Misalnya saja kebutuhan dasar manusia dalam kontek pelayanan kebidanan ada 10 keterampilan yang harus dicapai oleh mahasiswa. Disini bukan saja mahasiswa yang merasa kewalahan tetapi juga tim dosen yang mengajar mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik.

Untuk dapat menguasai suatu keterampilan seseorang harus sering mencoba melakukan hal tersebut agar terampil. Karena tanpa sering melakukannya akan sangat mudah lupa. Seperti pepatah lama yang lebih kurang berbunyi ?aku mendengar aku lupa, aku melihat aku mengetahui, aku mengerjakan aku bisa,? demikian juga dengan keterampilan dasar praktik klinik, harus tersedianya waktu yang cukup untuk mencoba agar terampil dalam menguasai kompetensi yang harus dicapai.

Pelaksanaan Proses Pembelajaran di laboratorium
Proses pembelajaran di laboratorium adalah suatu wahana untuk melakukan suatu keterampilan dengan mensimulasikan, demonstrasi, role play dengan mendekatkan keadaan pada situasi nyata. Proses pembelajaran di laboratorium sebetulnya dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah laboratorium kelas dimana mahasiswa melakukan proses pembelajaran yang berlangsung di institusi dengan menggunakan alat peraga. Sedangkan kelompok kedua adalah laboratorium klinik, dimana proses pembelajaran dilaksanakan di lahan praktik. Disini mahasiswa menjalani praktikkum dibawah bimbingan dosen pengasuh mata kuliah. Dengan demikian diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan praktikkum pada kondisi yang sebenarnya. Poltekkes Jurusan Kebidanan Palembang dalam menerapkan proses pembelajaran di laboratorium, hanya menjalani proses pembelajaran laboratorium kelas. Untuk laboratorium klinik tidak dilaksanakan, laboratorium klinik dilaksanakan bersamaan dengan praktik klinik kebidanan. Selain dari alat peraga perlu meninjau kembali alokasi waktu yang ditetapkan apakah mahasiswa sudah merasa cukup dengan alokasi waktu yang ada atau perlu pengayaan (remedial). Proses pembelajaran di laboratorium untuk mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik dengan beban studi 2 SKS, alokasi waktu yang tersedia 2 x 2 x 60 menit/minggu/ semester, dan hanya diberikan dalam satu semester. Sebelumnya mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik dengan beban studi 5 SKS dan diberikan dalam 2 semester, sehingga beban mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran dapat dicapai. Alokasi waktu yang tersedia sesuai dengan jumlah kompetensi yang ingin dicapai.

Pelaksanaan Proses Pembelajaran di lahan Praktik
Pelaksanaan proses pembelajaran dilahan praktik mata kuliah kebidanan komunitas memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik yang diarahkan kepada pencapaian keterampilan dalam mengkaji kondisi dan sarana pelayanan kesehatan dimasyarakat. Mengelola pelayanan kebidanan dimasyarakat, serta mengorganisir peran serta masyarakat dalam meningkatkan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di masyarakat.

Diharapkan dengan adanya praktik klinik dilahan praktik mahasiswa yang telah melewati masa proses pembelajaran di kelas dan laboratorium, dapat menguasai kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian dapat menghasilkan lulusan yang berkompeten. Meningkatkan mutu pendidikan dan akan menambah nilai tersendiri bagi institusi pendidikan dimata masyarakat.

Penilaian
Evaluasi hasil belajar mahasiswa dalam suatu mata kuliah sekurang-kurangnya merupakan gabungan dari tiga penilaian antara lain: Ujian Tengah Semester (UTS), tugas (pekerjaan rumah, pembuatan makalah, dan lain-lain), Kuiz (baik yang dipersiapkan maupun yang tidak dipersiapkan), laporan hasil praktikum (partisipasi, kerja lapangan/laboratorium), Ujian praktikum, Ujian Akhir Semester (UAS). Pedoman penilaian dengan menggunakan Pedoman Acuan Patokan (PAP), dan Pedoman Acuan Norma (PAN). Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan hurup A,B,C,D dan E yaitu masing-masing bernilai 4,3,2,1 dan 0 (Depkes 1996). Penyelenggaraan penilaian dimaksudkan selain sebagai alat ukur penguasaan kompetensi dan pemahaman ilmu serta kemampuan penerapan mahasiswa dibidang profesinya, juga sebagai umpan balik terhadap penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan baik program reguler maupun khusus.

Analisis Output Proses Pembelajaran
Penguasaan Kompetensi
Dalam penguasaan kompetensi mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik, baik mahasiswa maupun dosen merasakan alokasi waktu dalam proses pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan kompetensi yang akan dicapai, karena dalam pelaksanaan proses pembelajaran mata kuliah keterampilan dasar praktik klinik, dengan beban studi 3 SKS teori dan praktik laboratorium dirasakan oleh mahasiswa dan tenaga dosen sangat singkat. Untuk mata kuliah kebidanan komunitas penguasaan kompetensi sudah cukup baik karena kebidanan komunitas langsung praktik kepada pasien. Praktik laboratorium kelas hanya mengisi format pengkajian pasien, setelah dapat mengkaji kebutuhan pasien, mahasiswa menjalani proses pembelajaran laboratorium klinik di Puskesmas dibawah bimbingan dosen mata kuliah. Mata kuliah promosi kesehatan mahasiswa merasa waktunya cukup dan merasa menguasai kompetensi yang diharapkan. Pada proses pembelajaran laboratorium mahasiswa diberi penugasan penyuluhan informal secara mandiri langsung kepada masyarakat, misalnya kepada pengunjung apotik.

Kesimpulan
Komponen Input
  1. Dosen :
    Dosen tetap yang berlatar belakang profesi sama dengan mahasiswa didikannya (bidan) tidak seimbang, lebih banyak dosen yang berlatar belakang perawat, sebaiknya dosen tetap yang latar belakang pendidikannya belum sesuai dengan mahasiswa didikannya dikirim untuk mengikuti pelatihan atau pendidikan tambahan, agar dosen tersebut dapat diberdayakan dengan maksimal.
  2. Instruktur Klinik:
    Poltekkes jurusan kebidanan Palembang hendaknya menjalin komunikasi dengan lahan praktik, sebelum proses pembelajaran dilahan praktik dimulai harus ada kesepakan kerja yang jelas dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang tertuang dalam MoU(Memorandum of Understanding).
  3. Mahasiswa:
    Pengorganisasian proses pembelajaran harus dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, seperti kartu hasil studi hendaknya dikeluarkan sebelum mahasiswa melakukan registrasi untuk semester berikutnya. Dengan adanya pengorganisasian yang baik kita dapat mengevaluasi proses pembelajaran secara keseluruhan, dengan adanya evaluasi diharapkan adanya perbaikan dalam pelaksanaan proses pembelajaran kedepan.
  4. Alat Peraga:
    Dalam proses pembelajaran baik dikelas, dilaboratorium maupun lahan praktik, alat peraga sangat dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran, agar mahasiswa dapat dengan mudah mentransfer materi atau kompetensi yang diajarkan oleh dosen. Dengan demikian penguasaan kompetensi dapat tercapai.
  5. GBPP (Garis Besar Program Pengajaran):
    Dalam pelaksanaan proses pembelajaran hendaknya sebelum proses pembelajaran dimulai, Koordinator I harus mengarahkan dan mengkoordinasikan penanggung jawab mata kuliah agar GBPP dapat diterjemahkan kedalam silabus. Dengan adanya silabus pelaksanaan proses pembelajaran akan berjalan dengan semestinya karena dosen sudah ada panduan yang tetap.
  6. Standar Kompetensi:
    Standar kompetensi di Poltekkes jurusan kebidanan Palembang, dari kurikulum sudah dibuat dalam bentuk buku keterampilan yang harus dibawa pada saat mahasiswa menjalani proses pembelajaran dilahan praktik.
  7. Dana:
    Dana hendaknya Poltekkes jurusan kebidanan Palembang harus mengevaluasi kebutuhan dana, sesuai dengan kebutuhan dalam menunjang jalannya proses pembelajaran. Seperti melengkapi sarana dan prasarana belajar baik hardware maupun software, memperhatikan besarnya honor dosen apakah masih sesuai untuk saat ini.
Komponen Proses
  1. Perencanaan proses pembelajaran:
    Perencanaan proses pembelajaran disusun bersamaan saat awal semester berjalan. Seharusnya sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya disusun perencanaan yang matang, adanya penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai. Adanya prosedur kerja sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung sudah tahu apa yang akan dikerjakan.
  2. Pengorganisasian proses pembelajaran:
    Di Poltekkes jurusan kebidanan Palembang pengorganisasian dalam proses pembelajaran belum berjalan dengan semestinya. Sebaiknya pengorganisasian harus betul-betul dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, dengan adanya pengorganisasian yang baik diharapkan proses pembelajaran dalam hal ini evaluasi dapat dijalankan setiap saat demi untuk peningkatan mutu pendidikan.
  3. Proses Pembelajaran di Kelas:
    Proses pembelajaran dikelas sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan tuntutan kurikulum, hanya saja hambatan disini adalah dosen tidak tetap dari luar institusi, Poltekkes jurusan kebidanan Palembang kesulitan dalam memberikan honor yang sesuai dan tepat waktu. Hal ini mengakibatkan dosen banyak yang malas dan mengundurkan diri karena honor tidak sesuai dengan jasa yang mereka berikan.
  4. Proses pembelajaran dilaboratorium:
    Hambatan dalam pelaksanaan proses pembelajaran dilaboratorium, adalah alokasi waktu yang tersedia tidak sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai, alat peraga banyak yang kurang, sehingga membuat kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sebaiknya Poltekkes jurusan kebidanan Palembang mengusahakan untuk melengkapi alat peraga sebagai penunjang proses pembelajaran dilaboratorium.
  5. Proses Pembelajaran dilahan praktik:
    Poltekkes jurusan kebidanan Palembang dalam menjalankan proses pembelajaran dilahan praktik sangat tergantung dengan beban studi praktik klinik kebidanan, padahal untuk menerapkan dan menguasai kompetensi yang diharapkan dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Karena proses pembelajaran dilahan praktik harus disesuaikan dengan kondisi dilahan praktik. Misalnya kompetensi yang akan kita kuasai harus disesuaikan dengan pasien yang ada saat itu.
  • Komponen Output
    Penguasaan Kompetensi:
    Dalam penguasaan kompetensi mahasiswa dan instruktur klinik mengatakan bahwa, waktu untuk proses pembelajaran dilahan praktik sangat singkat, Sebaiknya Poltekkes jurusan kebidanan Palembang harus memberi kelonggaran waktu untuk proses pembelajaran dilahan praktik. Dengan adanya penambahan waktu praktik klinik maka diharapkan mahasiswa dapat dengan leluasa untuk mendapatkan kompetensi yang harus mereka capai.

    Saran
    Bagi Badan PPSDM Kesehatan: Guna peningkatan mutu sumber daya manusia, dalam hal ini institusi pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia yang berkualitas, hendaknya Badan PPSDM Kesehatan dapat memprogramkan agar adanya tugas belajar bagi dosen, untuk menambah kualifikasi tenaga dosen yang belum memenuhi syarat. Adanya pelatihan-pelatihan bagi dosen mata kuliah agar adanya inovasi didalam mengajar. Dengan adanya penelitian ini diharapkan Badan PPSDM Kesehatan dapat meninjau kembali kebijakan dalam hal ini yang berkaitan dengan proses pembelajaran, demi tercapai lulusan yang berkualitas.


Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Rabu, 27 April 2011

Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks

Pengetahuan kita tentang kanker serviks saat ini menunjukkan bahwa penyakit ini
berkembang secara bertahap dan bukan eksplosif. Keadaan dini yang mendahuluinya
berupa perubahan intraepitel yang dapat dideteksi dan disembuhkan dengan pengobatan
yang tepat. Pemeriksaan sitologi (tes Pap) merupakan metode praktis dalam skrining
kanker serviks. Hasil tes Pap abnormal harus didukung oleh pemeriksaan kolposkopi
dan histopatologik sebelum diobati secara definitif. Prosedur pemeriksaan skrining dan
deteksi dini akan menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan merawat pasien
dengan kanker stadium lanjut.
Masalah primer dan pengawasan komunitas (community control) kanker serviks,
bukan saja masalah teknik dan fasilitas, akan tetapi juga menyangkut masalah organisasi
dalam masyarakat serta motivasinya.
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama
kanker pada wanita di negara-negara sedang berkembang. Setiap
tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks
baru di seluruh dunia, 77 % di antaranya ada di negara-negara
sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan sekitar 90-100
kanker baru di antara 100.000 penduduk pertahunnya, atau
sekitar 180.000 kasus baru pertahun, dengan kanker serviks
menempati urutan pertama di antara kanker pada wanita. Studi
epidemiologik menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko terjadinya
kanker serviks meliputi hubungan seksual pada usia dini
(<20 tahun), berganti-ganti pasangan seksual, merokok, trauma
kronis pada serviks uteri dan higiene genitalia.
Lebih dari separuh penderita kanker serviks berada dalam
stadium lanjut yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan
seperti peralatan radioterapi yang hanya tersedia di beberapa
kota besar saja. Di samping mahal, pengobatan terhadap
kanker stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan
dengan harapan hidup 5 tahun yang rendah.
Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker
serviks dipandang dari segi harapan hidup, lamanya penderitaan,
serta tingginya biaya pengobatan, sudah sepatutnya apabila
kita memberikan perhatian yang lebih besar mengenai latar
belakang dari penyakit yang sudah terlalu banyak meminta
korban itu, dan segala aspek yang berkaitan dengan penyakit
tersebut serta upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan.

FAKTOR RISIKO
Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya
kanker serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan
hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai
pasangan seksual yang berganti-ganti lebih berisiko
untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai
etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor
risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan
wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab
kanker (karsinogen) kepada isterinya. Data epidemiologi
yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap kemungkinan
adanya hubungan antara kanker serviks dengan
agen yang dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 133, 2001
di daerah transformasi, menghasilkan suatu gradasi kelainan
permulaan keganasan, dan paling berbahaya bila terpapar
dalam waktu 10 tahun setelah menarche. Keterlibatan peranan
pria terlihat dari adanya kolerasi antara kejadian kanker serviks
dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh meningkatnya
kejadian tumor pada wanita monogami yang
suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita
lain menimbulkan konsep “Pria Berisiko Tinggi” sebagai
vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi.
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks,
tetapi penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam
penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Penyakit kelamin dan
keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara bebas, dan
diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit
akibat hubungan seksual dengan kanker serviks.

Kontrasepsi
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan.
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih
dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. WHO
melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral
sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian.

Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik
yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok
menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic
nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada
getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum.
Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan
status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen
infeksi virus.

Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan
dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat,
brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat.
Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic
acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan
dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin
C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.
Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh
buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen
bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati
(kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C
banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.

FAKTOR ETIOLOGIK
Infeksi protozoa, jamur dan bakteri tidak potensial onkogenik
sehingga penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan
virus sebagai penyebab yang penting. Tidak semua virus
dikatakan dapat menyebabkan kanker, tetapi paling tidak,
dikenal kurang lebih 150 juta jenis virus yang diduga memegang
peranan atas kejadian kanker pada binatang, dan
sepertiga di antaranya adalah golongan virus DNA. Pada proses
karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke
dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan
terjadinya mutasi sel.
Herpes Simpleks Virus (HSV) tipe 2. Pada awal tahun
1970 virus herpes simpleks tipe 2 merupakan virus yang paling
banyak didiskusikan sebagai penyebab timbulnya kanker
serviks; tetapi saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan
bahwa virus ini berperan besar, oleh karena itu diduga hanya
sebagai ko-faktor atau dapat dianggap sama dengan karsinogen
kimia atau fisik.
Human papillomavirus (HPV). Sejak 15 tahun yang lalu,
virus HPV ini telah banyak diperbincangkan sebagai salah satu
agen yang berperan. HPV adalah anggota famili Papovirida,
dengan diameter 55 um. Virus ini mempunyai kapsul isohedral
yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA
sirkuler dengan untaian ganda. Berat molekulnya 5 x 106
Dalton. Dikenal beberapa spesies virus papilloma, yaitu spesies
manusia, kelinci, sapi dan lain-lain. Saat ini telah diidentifikasi
sekitar 70 tipe HPV dan mungkin akan lebih banyak lagi di
masa mendatang
Masing-masing tipe mempunyai sifat tertentu pada kerusakan
epitel dan perubahan morfologi lesi yang ditimbulkan.
Kurang lebih 23 tipe HPV dapat menimbulkan infeksi pada alat
genitalia eksterna wanita atau laki-laki, yang meliputi tipe HPV
6,11,16, 18, 30, 31, 33, 34, 35, 39, 40, 42, 45, 51-58.
Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh
beberapa faktor, yaitu :
1) timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus papilloma;
2) dalam pengamatan terlihat adanya perkembangan menjadi karsinoma pada kondiloma akuminata;
3) pada penelitian epidemiologik infeksi HPV ditemukan angka kejadian kanker serviks yang meningkat;
4)DNA HPV sering ditemukan pada LIS (lesi intraepitel serviks)

Walaupun terdapat hubungan yang erat antara HPV dan
kankers erviks, tetapi belum ada bukti-bukti yang mendukung
bahwa HPV adalah penyebab tunggal. Perubahan keganasan
dari epitel normal membutuhkan faktor lain, hal ini didukung
oleh berbagai pengamatan, yaitu
1) perkembangan suatu infeksi HPV untuk menjadi kanker serviks berlangsung lambat dan membutuhkan waktu lama;
2) survai epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi infeksi HPV adalah 10-30 %, sedangkan risiko wanita untuk mendapatkan kanker serviks lebih kurang 1%;
3) penyakit kanker adalah monoklonal, artinya penyakit ini berkembang dari satu sel.

Oleh karena itu, hanya satu atau beberapa saja dari sel-sel epitel yang terinfeksi HPV mampu lepas dari kontrol pertumbuhan sel normal.
Perkembangan teknologi hibridasi DNA telah memperkaya
pengetahuan kita tentang hubungan HPV dan kanker serviks.
Pada analisis risiko didapatkan perbedaan yang besar antara
HPV 16/18 yang menyebabkan NIS 1; bila dibandingkan
dengan HPV 6/11 didapat risiko relatif hampir 1212 kali lebih
besar. Pada NIS 2 risiko relatif yang disebabkan HPV 16/18
mencapai 1515 kali dibandingkan kontrol. Pada NIS 3 semuanya
disebabkan oleh HPV 16/18 dan risiko relatif untuk berkembang
menjadi kondiloma invasif secara prospektif
sebanyak 70 % selama pengamatan 12 tahun.
Rangkuman dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa
Cermin Dunia Kedokteran No. 133, 2001 9
HPV tipe 6 dan 11 ditemukan pada 35 % kondiloma akuminata
dan NIS 1, 10 % pada NIS 2-3, dan hanya 1% ditemukan pada
kondiloma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10 %
kondiloma akuminata dan NIS 1,51% pada NIS 2-3, dan pada
63 % karsinoma invasif. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya
dengan kanker serviks, yaitu :
1) HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada karsinoma invasif;
2)HPV risiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58;
3) HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31.

PERUBAHAN FISIOLOGIK EPITEL SERVIKS
Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan
epitel kolumnar; kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan
skuamosa-kolumnar (SSK) yang letaknya tergantung pada
umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan aktivitas
seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena
trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada
epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel
skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar.
Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH
vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering
dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini
maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan
SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel
skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua
SSK ini disebut daerah transformasi.

PERUBAHAN NEOPLASTIK EPITEL SERVIKS
Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya
dengan proses metaplasia. Masuknya mutagen atau bahanbahan
yang dapat mengubah perangai sel secara genetik pada saat
fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi
ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di SSK atau
daerah transformasi. Mutagen tersebut berasal dari agen-agen
yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa
human papilloma virus (HPV) memegang peranan penting. Sel
yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel
displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia.
Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia
berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi
karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ
dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.
Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi
epitel skuamosa yang secara sitologik dan histologik
berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi persyaratan
sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal
epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan
pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan
maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif
tetapi membrana basalis masih utuh.
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel
Serviks (NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma
in-situ. NIS terdiri dari :
1) NIS 1, untuk displasia ringan;
2) NIS 2, untuk displasia sedang;
3) NIS 3, untuk displasia berat dan karsinoma in-situ.

Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum
penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia
sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-situ (NIS 3)
untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif.
Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami
regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak
dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi
progesif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap
potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksanai
sebagaimana mestinya.

PENCEGAHAN
Berbagai upaya penelitian telah banyak menghasilkan pengetahuan
tentang penyakit kanker. Dewasa ini WHO menyatakan
bahwa sepertiga dari seluruh kanker sebenarnya dapat
dicegah, sepertiga dapat disembuhkan dan pada sepertiga lagi
sisanya pasien dapat dibebaskan dari rasa nyeri jika dapat
diberikan obat yang tersedia untuk itu.
Mencegah timbulnya kanker merupakan satu upaya
penting dalam kegiatan penanggulangan kanker karena dapat
berdampak positif terhadap penggalangan sumber daya manusia
yang sehat dan produktif serta perbaikan keadaan sosial
ekonominya.
Pencegahan kanker didefinisikan sebagai pengidentifikasian
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kanker pada
manusia dan membuat sebab-sebab ini tidak efektif dengan
cara-cara apapun yang mungkin. Pencegahan kanker ini dapat
bersifat primer atau sekunder.
Pencegahan primer merujuk pada kegiatan/langkah yang
dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindarkan diri
dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan tumbuhnya kanker.
Sedangkan pencegahan sekunder merupakan istilah yang lebih
umum dipakai oleh para petugas kesehatan yang berminat
dalam penelitian penanggulangan kanker. Penerapannya pada
pengidentifikasian kelompok populasi berisiko tinggi terhadap
kanker, skrining populasi tertentu, deteksi dini kanker pada
individu nirgejala (asimtomatik) dan pengubahan perilaku manusia.
Masyarakat awam dan masyarakat profesi kedua-duanya
terlibat dalam kegiatan pencegahan dini.

PENEMUAN DINI
Hampir sebagian besar NIS tidak disertai gejala/tanda yang
spesifik.

Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou
(tes Pap) sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini,
tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan dengan baik.
Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan, bahwa sel-sel permukaan
secara terus menerus dilepaskan oleh epitel dari permukaan
traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi atau dikerok
dari permukaan epitel serviks merupakan mikrobiopsi yang
memungkinkan kita mempelajari proses dalam keadaan sehat dan sakit. Sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang
tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi.
Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik.
Sitodiagnosis yang tepat tergantung pada sediaan yang
representatif, fiksasi dan pewarnaan yang baik, serta tentu saja
interpretasi yang tepat. Enam puluh dua persen kesalahan
disebabkan karena pengambilan sampel yang tidak adekuat dan
23 % karena kesalahan interpretasi. Supaya ada pengertian
yang baik antara dokter dan laboratorium, maka informasi
klinis penting sekali. Dokter yang mengirim sediaan harus
memberikan informasi klinis yang lengkap, seperti usia, hari
pertama haid terakhir, macam kontrasepsi (bila ada), kehamilan,
terapi hormon, pembedahan, radiasi, kemoterapi, hasil sitologi
sebelumnya, dan data klinis yang meliputi gejala dan hasil
pemeriksaan ginekologik. Sediaan sitologi harus meliputi
komponen ekto- dan endoserviks. NIS lebih mungkin terjadi
pada SSK sehingga komponen endoserviks menjadi sangat
penting dan harus tampak dalam sediaan. Bila komponen
endoserviks saja yang diperiksa kemungkinan negatif palsu
dari NIS kira-kira 5%.
Untuk mendapatkan informasi sitologi yang baik dianjurkan
melakukan beberapa prosedur. Sediaan harus diambil
sebelum pemeriksaan dalam; spekulum yang dipakai harus
kering tanpa pelumas. Komponen endoserviks didapat dengan
menggunakan ujung spatula Ayre yang tajam atau kapas lidi,
sedangkan komponen ektoserviks dengan ujung spatula Ayre
yang tumpul. Sediaan segera difiksasi dalam alkohol 96%
selama 30 menit dan dikirim (bisa melalui pos) ke laboratorium
sitologi terdekat.

Kolposkopi
Peranan tes Pap tidak diragukan lagi sebagai metode yang
paling praktis dalam skrining kanker serviks. Pemeriksaan tes
Pap abnormal harus didukung oleh pemeriksaan histopatologik
sebelum melakukan terapi definitif. Biopsi yang dilakukan
secara buta sering memberikan hasil negatif palsu. Di lain
pihak prosedur konisasi yang hanya didasari oleh hasil pemeriksaan
sitologi abnormal, merupakan tindakan operasi yang
sebenarnya tidak perlu.
Dalam dekade terakhir peranan kolposkopi untuk diagnosis
dini kanker servisk meningkat dengan pesat. Kolpos-kopi
adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, suatu
alat yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga
rendah dengan sumber cahaya di dalamnya (pembesaran 6-40
kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi
sel-sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai
perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang mencerminkan
perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di
jaringan serviks.
Hampir semua NIS terjadi di daerah transformasi, yaitu
daerah yang terbentuk akibat proses metaplasia. Daerah ini
dapat dilihat seluruhnya dengan alat kolposkopi, sehingga biopsi
dapat dilakukan lebih terarah. Jadi tujuan pemeriksaan kolposkopi
bukan untuk membuat diagnosis histologik tetapi
menentukan kapan dan di mana biopsi harus dilakukan. Pemeriksaan
kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan diagnosis
sitologi menjadi hampir mendekati 100%.

Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika SSK terlihat
seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSK tidak terlihat seluruhnya
atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di dalam
kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan
diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat
dan alat biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan dalam
larutan formalin 10 %.

Konisasi
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan
serviks sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk
kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut.
Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu
dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan
ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika karena suatu
hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan
tes Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan
larutan lugol (yodium 5g, kalium yodida 10g, air 100 ml) dan
eksisi dilakukan di luar daerah dengan tes positif (daerah yang
tidak berwarna oleh larutan lugol).
Konisasi diagnostik dilakukan pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :

1. Proses dicurigai berada di endoserviks
2. Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi
3. Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar spesimen biopsi
4. Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik.

STRATEGI SKRINING KANKER SERVIKS
Mengingat di Indonesia kanker serviks masih menduduki
urutan yang teratas, perlu dilakukan upaya untuk menanggulangi
atau paling sedikit menurunkan angka kejadiannya.
Konsep patogenesis kanker serviks mempunyai arti penting
dalam skrining kanker serviks.
Secara teoritis suatu program skrining penyakit kanker
harus tepat guna dan ekonomis. Hal ini hanya dapat tercapai
bila :
a. Penyakit ditemukan relatif sering dalam populasi
b. Penyakit dapat ditemukan dalam stadium pra-kanker
c. Teknik mempunyai kekhususan dan kepekaan tinggi untuk mendeteksi stadium pra-kanker
d. Stadium pra-kanker ini dapat diobati secara tepat guna dan ekonomis
e. Terdapat bukti pengobatan stadium pra-kanker menurunkan insiden kanker invasif.

Kanker serviks mengenal stadium pra-kanker yang dapat
ditemukan dengan skrining sitologi yang relatif murah, tidak
sakit, cukup akurat; dan dengan bantuan kolposkopi, stadium
ini dapat diobati dengan cara-cara konservatif seperti krioterapi,
kauterisasi atau sinar laser, dengan memperhatikan
fungsi reproduksi.
Sistem kesehatan di seluruh dunia berbeda-beda, namun
perencanaan skrining harus sejalan dengan pelayanan kesehatan lainnya dan dengan kerjasama antar program. Idealnya program skrining merupakan bagian dari pelayanan kesehatankanker yang dikembangkan dalam struktur pelayanan kesehatan
umum. Di semua negara tempat program ini telah dilaksanakan
20 tahun atau lebih, angka kejadian kanker serviks dan
angka kematian karenanya turun sampai 50-60%.
Tidak dapat disangkal bahwa sejak dilakukan skrining
massal terdapat peningkatan yang nyata dalam penentuan lesi
prakanker serviks, sehingga dapat menurunkan insidens kanker
serviks. Meskipun telah sukses mendeteksi sejumlah besar lesi
prakanker, namun sebagian program yang dijalankan belum
dapat dikatakan berhasil. Hasil yang kurang memadai agaknya
disebabkan beberapa faktor, antara lain tidak tercakupnya
golongan wanita yang mempunyai risiko (high risk group) dan
teknik pengambilan sampel untuk pemeriksaan sitologi yang
salah. Pemecahan masalah yang menyangkut golongan wanita
dengan risiko tinggi dan teknik pengambilan sampel, berkaitan
dengan strategi program skrining, serta peningkatan kemampuan
laboratorium. Pengadaan laboratorium sentral sangat bermanfaat
untuk pengendalian kualitas (quality control) terhadap
pemeriksaan sitologi.
Masalah lain dalam usaha skrining kanker serviks ialah
keengganan wanita diperiksa karena malu. Penyebab lain ialah
kerepotan, keraguan akan pentingnya pemeriksaan, kurangnya
pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan, takut terhadap
kenyataan hasil pemeriksaan yang akan dihadapi, ketakutan
merasa sakit pada pemeriksaan, rasa segan diperiksa oleh
dokter pria dan kurangnya dorongan keluarga terutama suami.
Banyak masalah yang berkaitan dengan pasien dapat dihilangkan
melalui pendidikan terhadap pasien dan hubungan yang
baik serta anjuran dokter. Di samping itu, inovasi skrining
kanker serviks dalam pelayanan kesehatan masyarakat dapat
dilakukan bersamaan.
Interval pemeriksaan sitologi (screening interval) merupakan
hal lain yang penting dalam menentukan strategi program
skrining. Strategi program skrining kanker serviks harus
memperhatikan golongan usia yang paling terancam (high risk
group), perjalanan alamiah penyakit (natural history) dan
sensitivitas tes Pap. Negara-negara sedang berkembang perlu
menentukan strategi program skrining yang disesuaikan dengan
sarana dan kondisi yang ada. The American Cancer Society
menyarankan pemeriksaan ini dilakukan rutin pada wanita
yang tidak menunjukkan gejala, sejak usia 20 tahun atau lebih,
atau kurang dari 20 tahun bila secara seksual sudah aktif.
Pemeriksaan dilakukan 2 kali berturut-turut dan bila negatif,
pemeriksaan berikutnya paling sedikit setiap 3 tahun sampai
berusia 65 tahun. Pada wanita risiko tinggi atau pernah mendapat
hasil abnormal harus diperiksa setiap tahun. Frekuensi
yang lebih sering tidak menambah faedah.

Servikografi
Servikografi terdiri dari kamera 35 mm dengan lensa 100
mm dan lensa ekstensi 50 mm. fotografi diambil oleh dokter,
perawat,atau tenaga kesehatan lainnya, dan slide (servikogram)
dibaca oleh yang mahir dengan kolposkop. Disebut negatif atau
curiga jika tidak tampak kelainan abnormal, tidak memuaskan
jika SSK tidak tampak seluruhnya dan disebut defek secara
teknik jika servikogram tidak dapat dibaca (faktor kamera atau
flash).
Kerusakan (defect) secara teknik pada servikogram kurang
dari 3 %. Servikografi dapat dikembangkan sebagai skrining
kolposkopi. Pemeriksaan servikografi, sitologi, servikografi
dan kolposkopi dilakukan serentak pada 257 kasus di Korea
dalam skrining massal. Mereka menemukan sensitivitas
servikografi, tes Pap dan kolposkopi masing-masing 85 %,
55% dan 95%, dan spesifisitas masing-masing 82,3%, 78,1%
dan 99,7%. Kombinasi servikografi dan kolposkopi dengan
sitologi mempunyai sensitivitas masing-masing 83% dan 98%
sedang spesifisitas masing-masing 73% dan 99%. Perbedaan
ini tidak bermakna. Dengan demikian servikografi dapat digunakan
sebagai metoda yang baik untuk skrining massal,
lebih-lebih di daerah di mana tidak ada seorang spesialis
sitologi, maka kombinasi servikogram dan kolposkopi
kelihatannya merupakan keharusan.

Pemeriksaan visual langsung
Pada daerah di mana fasilitas pemeriksaan sitologi dan
kolposkopi tidak ada, maka pemeriksaan visual langsung dapat
digunakan untuk mendeteksi kanker secara dini. Sehgal dkk
tahun 1991 di India melakukan pemeriksaan visual langsung
disertai pemeriksaan sitologi dan kolposkop. Kanker dini dicurigai
sebanyak 40-50% dengan visual langsung, sedang
pemeriksaan sitologi dan kolposkopi dapat mendeteksi masingmasing
sebanyak 71% dan 87%.

Gineskopi
Gineskopi menggunakan teleskop monokuler, ringan
dengan pembesaran 2,5 x dapat digunakan untuk meningkatkan
skrining dengan sitologi. Biopsi atau pemeriksaan kolposkopi
dapat segera disarankan bila tampak daerah berwarna putih
dengan pulasan asam asetat. Sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 84% dan 87% dan negatif palsu sebanyak
12,6% dan positif palsu 16%. Samsuddin dkk pada tahun 1994
membandingkan pemeriksaan gineskopi dengan pemeriksaan
sitologi pada sejumlah 920 pasien dengan hasil sebagai berikut:
Sensitivitas 95,8%; spesifisitas 99,7%; predictive positive value
88,5%; negative value 99,9%; positif palsu 11,5%; negatif
palsu 4,7% dan akurasi 96,5%. Hasil tersebut memberi peluang
digunakannya gineskopi oleh tenaga paramedik/bidan untuk
mendeteksi lesi prakanker bila fasilitas pemeriksaan sitologi
tidak ada.

PERANAN DOKTER UMUM
Dokter umum mempunyai kedudukan yang unik dalam
profesi kedokteran karena seringnya mengadakan kontak
dengan wanita usia reproduksi. Tidak ada spesialisasi lain
dalam bidang kedokteran yang menjalin kontak demikian erat
dengan wanita yang memiliki risiko menderita kanker serviks.
Mereka sering berkunjung selama masa reproduksi untuk
pencegahan kehamilan (keluarga berencana), perawatan bayi
dan anaknya, serta pemeriksaan kesehatan lainnya. Posisi yang
unik ini memungkinkan dokter umum lebih mengenal keadaan
pasien dan lingkungannya secara menyeluruh, termasuk sikap
keluarga terhadap kesehatan, kemampuan dana dan faktor-
faktor lainnya. Komunikasi yang erat tersebut dapat dimanfaatkan
secara efektif dan produktif untuk mendidik dan
menganjurkan mereka melaksanakan skrining dan deteksi dini
kanker serviks. Untuk itu dokter umum harus mengetahui
patofisiologi kanker serviks, faktor risiko yang berkaitan, dan
pengobatan serta prosedur pengawasan lanjut yang biasa
dilakukan. Dengan pengetahuan tersebut dokter umum dapat
membantu pasien memperoleh informasi yang baik dan mengambil
keputusan yang tepat tentang kesehatan mereka saat ini
dan di masa datang.
Jika seorang pasien menolak diperiksa, sekurang-kurangnya
ada kesempatan untuk memberikan pendidikan atau
memberikan bahan-bahan bacaan tentang keuntungan skrining
dan deteksi dini. Jika informasi dan proses pendidikan ini
diulang dalam beberapa kali kunjungan, ia akan lebih menerima
saran untuk menjalani prosedur skrining dan deteksi
dini kanker leher rahim. Sangat diharapkan dokter umum dapat
menerapkan pengetahuannya dalam pengelolaan pasiennya.
Dokter umum harus mengetahui tentang fasilitas yang tersedia
dan biaya yang diperlukan, kemampuan yang tersedia dan
biaya yang diperlukan, kemampuan pemeriksaan, serta mempersiapkan
pasien untuk menerima rasa tidak enak yang
mungkin dirasakan pada saat menjalani pemeriksaan. Di
samping itu mampu menerangkan kepada pasien tentang hasil
pemeriksaan dan artinya, dan memberikan saran untuk pengobatan
selanjutnya. Saran-saran tersebut harus diberikan secara
jujur tanpa kecenderungan pribadi.
Jelas bahwa dokter umum perlu menjalin hubungan yang
terbuka dengan ahli ginekologi untuk menjamin kelanjutan
pengelolaan pasien yang dirujuk. Jika seorang pasien dirujuk
kepada Ahli Ginekologi sering pasien dikirim kembali agar
mampu melakukan perawatan dalam batas kemampuannya
dengan penuh perhatian. Dokter umum sewaktu-waktu dapat
berkonsultasi dengan ahli ginekologi bila terjadi komplikasi
pengobatan atau perkembangan lain dari penyakit pasien, yang
mungkin timbul selama perawatan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa keluhan pasien lebih mudah disampaikan
kepada dokter keluarga yang sering memeriksanya.

Lokasi serviks yang unik memungkinkan kita mempelajari
sel-sel dan epitel serviks seksama dan langsung, begitu pula
perubahan-perubahan yang dialami.Hal ini telah memperkaya
pengetahuan kita mengenai histogenesis kanker servisk.
Meskipun data mengenai pengetahuan ini belum lengkap,
namun diketahui bahwa kanker serviks mempunyai per-kembangan
yang bertahap dan bukan secara eksplosif.
Keadaan dini yang mendahului keganasan dapat terdiri dari
displasia dan karsinoma in-situ atau dikenal juga sebagai
tingkat pra-kanker. Jika penyakit dapat dideteksi pada tingkat
ini, maka perjalanan penyakit selanjutnya menjadi kanker
invasif dapat dicegah.
Dokter umum memiliki kesempatan terbesar untuk mulai
mendidik masyarakat, melakukan prosedur skrining khususnya
pada wanita-wanita yang memiliki risiko tinggi. Dokter umum
tidak harus melakukan prosedur diagnosis dan pengobatan
definitif, namun ia perlu mengetahui saat/kesempatan terbaik
untuk merujuk pasien.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan