Kanker servik jadi pembunuh wanita

Tahukah Anda, bahwa dalan setiap jam wanita di Indonesia meninggal akibat kanker serviks atau lebih dikenal dengan kanker mulut rahim. Bahkan dalam setiap menit wanita di seluruh dunia meninggal karna kanker yang mematikan ini.

Beda Hormon LH dan FSH

FSH dan LH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior, sebuah kelenjar kecil yang hadir di bagian bawah otak. FSH pada dasarnya menyebabkan pematangan sel telur di dalam folikel dalam tubuh wanita.

Manfaat Bawang Putih

Khasiat atau manfaat bawang putih ternyata tidak hanya untuk menyedapkan atau sebagai bumbu masakan saja, namun ternyata banyak hal lain yg dapat di manfaatkan dari bawang puth tersebut terutamanya untuk dunia kesehatan.

Toko Kayumanis

Selamat datang di Toko Kayumanis version Online Shop Kami menjual T-shirt, kaos oblong dan jaket T-shirt, kaos oblong dan jaket yang kami jual menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, kelebihan dari T-shirt, kaos oblong dan jaket di Toko kami dapat anda tentukan sendiri desainnya, pola ataupun grafisnya sesusai keinginan anda sehingga dapat dipastikan tidak ada T-shirt, kaos oblong dan jaket dari Toko kami yang mempunyai motif yang sama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 30 Juni 2011

Skrining Kanker Serviks dengan Metode Skrining Alternatif: IVA



Jumlah penderita kanker serviks, menduduki peringkat
teratas di antara penyakit kanker pada pria dan wanita di
Indonesia. Keadaan ini berbeda dengan di negara maju, umumnya
kanker serviks sudah menurun jumlahnya berkat program skrining kanker serviks.
Di Indonesia masalah banyaknya kasus kanker serviks,
diperburuk lagi dengan banyaknya (>70%) kasus yang sudah
berada pada stadium lanjut ketika datang ke Rumah Sakit(1,2).
Beberapa negara maju telah berhasil menekan jumlah kasus
kanker serviks, baik jumlah maupun stadiumnya. Pencapaian
tersebut terutama berkat adanya program skrining massal
antara lain dengan Tes Pap. Namun di Indonesia kebijakan
penerapan program skrining kanker serviks kiranya masih
tersangkut dengan banyak kendala, antara lain luasnya wilayah
negara yang terdiri dari beribu pulau dan juga kurangnya
sumber daya manusia sebagai pelaku skrining, khususnya
kurangnya tenaga ahli patologi anatomik/sistologi dan stafnya,
teknisi sitologi/skriner.
Bila andalan skrining kanker serviks adalah metode Tes
Pap, dengan mengkaji masalah yang ada di Indonesia, kiranya
belum dapat diperkirakan perlu berapa dekade lagi untuk dapat
mewujudkan program skrining massal kanker serviks dengan Tes Pap di Indonesia.
Masalah kanker serviks di Indonesia sangat khas yaitu
banyak, dan ditemukan pada stadium lanjut. Kondisi ini terjadi
juga di beberapa negara berkembang, atau di negara miskin.
Agar tercapai hasil pengobatan kanker serviks yang lebih baik,
salah satu faktor utama adalah penemuan stadium lebih awal.
Pengobatan kanker serviks pada stadium lebih dini, hasilnya
lebih baik, mortalitas akan menurun.
Menengarai masalah yang ada, timbul gagasan untuk
melakukan skrining kanker serviks dengan metode yang lebih
sederhana, antara lain yaitu dengan IVA (Inspeksi Visual
dengan Asam Asetat). IVA adalah pemeriksaan skrining kanker
serviks dengan cara inspeksi visual pada serviks dengan aplikasi
asam asetat (IVA). Dengan metode inspeksi visual yang
lebih mudah, lebih sederhana, lebih mampu laksana, maka
skrining dapat dilakukan dengan cakupan lebih luas, diharapkan
temuan kanker serviks dini akan bisa lebih banyak.
Kemampuan tersebut telah dibuktikan oleh berbagai penelitian.

AKURASI TES PAP
Telah diakui bahwa pemeriksaan Tes Pap mampu menurunkan
kematian akibat kanker serviks di beberapa negara,
walaupun tentu ada kekurangan. Sensitivitas Tes Pap untuk
mendeteksi NIS berkisar 50-98%(5,6) sedang negatif palsu
antara 8-30% untuk lesi skuamosa(7,8) 40% untuk adenomatosa. Adapun Spesifisitas Tes Pap adalah 93%, nilai prediksi positif adalah 80,2% dan nilai prediksi negatif adalah
91,3%. Harus hati-hati justru pada lesi serviks invasif, karena
negatif palsu dapat mencapai 50%, akibat tertutup darah,
adanya radang dan jaringan nekrotik(7,9). Fakta ini menunjukkan
bahwa pada lesi invasif kemampuan pemeriksa melihat
serviks secara makroskopik sangat diperlukan.

MENGAPA PERLU METODE SKRINING ALTERNATIF
DI INDONESIA
Pemikiran perlunya metode skrining alternatif dilandasi
oleh fakta, bahwa temuan sensitivitas dan spesifisitas Tes Pap
bervariasi dari 50-98%. Selain itu juga kenyataannyaa skrining
massal dengan Tes Pap belum mampu dilaksanakan antara lain
karena keterbatasan ahli patologi/sitologi dan teknisi sitologi.
Data dari sekretariat IAPI (Ikatan Ahli Patologi Indonesia)
menunjukkan bahwa jumlah ahli patologi 178 orang pada tahun
1999 yang tersebar baru di 13 provinsi di Indonesia(10) dan
jumlah skriner yang masih kurang dari 100 orang(11) pada tahun
1999.
Sementara itu Indonesia mempunyai sejumlah bidan;
jumlah bidan di desa 55.000 dan bidan praktek swasta (BPS)
kurang sebanyak 16.000(1997)(12). Bidan adalah tenaga
kesehatan yang dekat dengan masalah kesehatan wanita, yang
potensinya perlu dioptimalkan, khususnya untuk program
skrining kanker serviks. Juga adanya fakta bahwa di antara
petugas kesehatan termasuk bidan, kemampuan dan kewaspadaan
terhadap kanker serviks masih perlu diberdayakan.

Kolposkopi
Pemeriksaan melihat porsio (juga vagina dan vulva)
dengan pembesaran 10-15x.; untuk menampilkan porsio, dipulas
terlebih dahulu dengan asam asetat 3-5%. Pada porsio
dengan kelainan (infeksi HPV atau NIS) terlihat bercak putih
atau perubahan corakan pembuluh darah.
Kolposkopi dapat berperan sebagai alat skrining awal,
namun ketersediaan alat ini terbatas karena mahal.Oleh karena
itu alat ini lebih sering digunakan dalam prosedur pemeriksaan
lanjut dari hasil Tes Pap abnormal.

Servikografi
Pemeriksaan kelainan di porsio dengan membuat foto
pembesaran porsio setelah dipulas dengan asam asetat 3-5%
yang dapat dilakukan oleh bidan. Hasil foto serviks dikirim ke
ahli ginekologi (yang bersertifikat untuk menilai).

Pap Net (dengan komputerisasi)
Pada dasarnya pemeriksaan Pap Net berdasarkan pemeriksaan
slide Tes Pap. Bedanya untuk mengidentifikasi sel abnormal
dilakukan secara komputerisasi. Slide hasil Tes Pap
yang mengandung sel abnormal dievaluasi ulang oleh ahli
patologi/sitologi.
Pusat komputerisasi Pap Net yaitu New York, Amsterdam
dan Hongkong. Saat ini di jaringan Pap Net yang ada di
Indonesia slidenya dikirim ke Hongkong.

Tes DNA - HPV
Telah dibuktikan bahwa lebih 90% kondiloma serviks, NIS
dan kanker serviks mengandung DNA-HPV. Hubungannya
dinilai kuat dan tiap tipe HPV mempunyai hubungan patologi
yang berbeda. Tipe 6 dan 11 termasuk tipe HPV risiko rendah
jarang ditemukan pada karsinoma invasif kecuali karsinoma
verukosa. Sementara itu tipe 16, 18, 31 dan 45 tergolong tipe
HPV risiko tinggi. HPV typing dilakukan dengan hibridasi
DNA(14).

Kajian kualitas berbagai metode skrining alternatif
Tiap-tiap metode skrining dapat dikaji dari segi efektifitas,
kepraktisan metode, mampu laksana dan kemudahan tersedianya
sarana.

IVA SEBAGAI METODE SKRINING ALTERNATIF
YANG SESUAI UNTUK INDONESIA
Mengkaji masalah penanggulangan kanker serviks yang
ada di Indonesia dan adanya pilihan metode yang mudah diujikan
di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi visual
dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode
skrining alternatif untuk kanker serviks. Pertimbangan tersebut
didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA itu.
Mudah, praktis dan sangat mampu laksana.
Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter
ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan
kesehatan ibu.
Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana.
Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana.

Pelaksanaan skrining IVA
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA,
dibutuhkan tempat dan alat sebagai berikut:
Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi
litotomi.
Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien
berada pada posisi litotomi.
Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks
Spekulum vagina
Asam asetat (3-5%)
Swab-lidi berkapas
Sarung tangan

Teknik IVA
Dengan spekulum melihat serviks yang dipulas dengan
asam asetat 3-5%. Pada lesi prakanker akan menampilkan
warna bercak putih yang disebut aceto white epithelum.

Porsio sebelum dipulas Gambaran bercak putih
dengan asam asetat pada lesi pra-kanker
Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan
bahwa tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan
biopsi. Andaikata penemuan tes IVA positif oleh bidan,
maka di beberapa negara bidan tersebut dapat langsung
melakukan terapi dengan cryosergury. Hal ini tentu mengandung
kelemahan-kelemahan dalam menyingkirkan lesi invasif.

Kategori pemeriksaan IVA
Ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan, salah
satu kategori yang dapat dipergunakan adalah:
1. IVA negatif = Serviks normal.
2. IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau
kelainan jinak lainnya (polip serviks).
3. IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white
epithelium). Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining
kanker serviks dengan metode IVA karena temuan ini
mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia ringansedang-
berat atau kanker serviks in situ).
4. IVA-Kanker serviks
Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan stadium
kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan
kematian akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada
stadium invasif dini (stadium IB-IIA).

HASIL TEMUAN
Tentu saja ada keraguan pada metode yang lebih sederhana,
namun telah pula dibuktikan pada beberapa penelitian,
bahwa metode skrining IVA cukup sensitif dan spesifik dalam
upaya skrining kanker serviks, sebagaimana hasil temuan kajian
yang telah dilakukan di Indonesia di bawah ini (walau kajian
di bawah ini dengan bantuan pembesaran Gineskopi).
Kanker serviks adalah masalah kesehatan wanita di
Indonesia, karena jumlahnya yang banyak dan >70% didiagnosis
pada stadium lanjut. Telah ada metode skrining Tes Pap
yang telah diakui sebagai metode skrining yang handal, dengan
berbagai keterbatasannya dalam penemuan kanker serviks pada
tahap pra-kanker.
Namun untuk Indonesia masalah pelaksanaan skrining
massal kanker serviks dengan menggunakan Tes Pap terkait
dengan banyak kendala antara lain luasnya wilayah Indonesia,
penyediaan dana dan keterbatasan SDM.
Karena itu perlu diupayakan suatu terobosan untuk melakukan
skrining kanker serviks, walaupun dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang diduga lebih rendah di banding Tes Pap
tapi mempunyai cakupan yang lebih luas. Metode yang dimaksud
adalah inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).
Metode ini sangat mungkindilakukan oleh semua tenaga kesehatan
bidan, dokter umum, tentu saja oleh dokter spesialis.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Rabu, 29 Juni 2011

Pencegahan Dini Kanker Serviks



Pengetahuan kita tentang kanker serviks saat ini menunjukkan bahwa penyakit ini
berkembang secara bertahap dan bukan eksplosif. Keadaan dini yang mendahuluinya
berupa perubahan intraepitel yang dapat dideteksi dan disembuhkan dengan pengobatan
yang tepat. Pemeriksaan sitologi (tes Pap) merupakan metode praktis dalam skrining
kanker serviks. Hasil tes Pap abnormal harus didukung oleh pemeriksaan kolposkopi
dan histopatologik sebelum diobati secara definitif. Prosedur pemeriksaan skrining dan
deteksi dini akan menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan merawat pasien
dengan kanker stadium lanjut.
Masalah primer dan pengawasan komunitas (community control) kanker serviks,
bukan saja masalah teknik dan fasilitas, akan tetapi juga menyangkut masalah organisasi
dalam masyarakat serta motivasinya.
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama
kanker pada wanita di negara-negara sedang berkembang. Setiap
tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks
baru di seluruh dunia, 77 % di antaranya ada di negara-negara
sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan sekitar 90-100
kanker baru di antara 100.000 penduduk pertahunnya, atau
sekitar 180.000 kasus baru pertahun, dengan kanker serviks
menempati urutan pertama di antara kanker pada wanita. Studi
epidemiologik menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko terjadinya
kanker serviks meliputi hubungan seksual pada usia dini
(<20 tahun), berganti-ganti pasangan seksual, merokok, trauma
kronis pada serviks uteri dan higiene genitalia.
Lebih dari separuh penderita kanker serviks berada dalam
stadium lanjut yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan
seperti peralatan radioterapi yang hanya tersedia di beberapa
kota besar saja. Di samping mahal, pengobatan terhadap
kanker stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan
dengan harapan hidup 5 tahun yang rendah.
Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker
serviks dipandang dari segi harapan hidup, lamanya penderitaan,
serta tingginya biaya pengobatan, sudah sepatutnya apabila
kita memberikan perhatian yang lebih besar mengenai latar
belakang dari penyakit yang sudah terlalu banyak meminta
korban itu, dan segala aspek yang berkaitan dengan penyakit
tersebut serta upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan.

FAKTOR RISIKO
Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya
kanker serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan
hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai
pasangan seksual yang berganti-ganti lebih berisiko
untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai
etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor
risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan
wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab
kanker (karsinogen) kepada isterinya. Data epidemiologi
yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap kemungkinan
adanya hubungan antara kanker serviks dengan
agen yang dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 133, 2001
di daerah transformasi, menghasilkan suatu gradasi kelainan
permulaan keganasan, dan paling berbahaya bila terpapar
dalam waktu 10 tahun setelah menarche. Keterlibatan peranan
pria terlihat dari adanya kolerasi antara kejadian kanker serviks
dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh meningkatnya
kejadian tumor pada wanita monogami yang
suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita
lain menimbulkan konsep “Pria Berisiko Tinggi” sebagai
vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi.
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks,
tetapi penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam
penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Penyakit kelamin dan
keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara bebas, dan
diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit
akibat hubungan seksual dengan kanker serviks.

Kontrasepsi
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan.
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih
dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. WHO
melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral
sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian.

Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik
yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok
menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic
nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada
getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum.
Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan
status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen
infeksi virus.

Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan
dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat,
brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat.
Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic
acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan
dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin
C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.
Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh
buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen
bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati
(kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C
banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.

FAKTOR ETIOLOGIK
Infeksi protozoa, jamur dan bakteri tidak potensial onkogenik
sehingga penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan
virus sebagai penyebab yang penting. Tidak semua virus
dikatakan dapat menyebabkan kanker, tetapi paling tidak,
dikenal kurang lebih 150 juta jenis virus yang diduga memegang
peranan atas kejadian kanker pada binatang, dan
sepertiga di antaranya adalah golongan virus DNA. Pada proses
karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke
dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan
terjadinya mutasi sel.
Herpes Simpleks Virus (HSV) tipe 2. Pada awal tahun
1970 virus herpes simpleks tipe 2 merupakan virus yang paling
banyak didiskusikan sebagai penyebab timbulnya kanker
serviks; tetapi saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan
bahwa virus ini berperan besar, oleh karena itu diduga hanya
sebagai ko-faktor atau dapat dianggap sama dengan karsinogen
kimia atau fisik.
Human papillomavirus (HPV). Sejak 15 tahun yang lalu,
virus HPV ini telah banyak diperbincangkan sebagai salah satu
agen yang berperan. HPV adalah anggota famili Papovirida,
dengan diameter 55 um. Virus ini mempunyai kapsul isohedral
yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA
sirkuler dengan untaian ganda. Berat molekulnya 5 x 106
Dalton. Dikenal beberapa spesies virus papilloma, yaitu spesies
manusia, kelinci, sapi dan lain-lain. Saat ini telah diidentifikasi
sekitar 70 tipe HPV dan mungkin akan lebih banyak lagi di
masa mendatang
Masing-masing tipe mempunyai sifat tertentu pada kerusakan
epitel dan perubahan morfologi lesi yang ditimbulkan.
Kurang lebih 23 tipe HPV dapat menimbulkan infeksi pada alat
genitalia eksterna wanita atau laki-laki, yang meliputi tipe HPV
6,11,16, 18, 30, 31, 33, 34, 35, 39, 40, 42, 45, 51-58.
Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh
beberapa faktor, yaitu :
1) timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus papilloma;
2) dalam pengamatan terlihat adanya perkembangan menjadi karsinoma pada kondiloma akuminata;
3) pada penelitian epidemiologik infeksi HPV ditemukan angka kejadian kanker serviks yang meningkat;
4)DNA HPV sering ditemukan pada LIS (lesi intraepitel serviks)

Walaupun terdapat hubungan yang erat antara HPV dan
kankers erviks, tetapi belum ada bukti-bukti yang mendukung
bahwa HPV adalah penyebab tunggal. Perubahan keganasan
dari epitel normal membutuhkan faktor lain, hal ini didukung
oleh berbagai pengamatan, yaitu
1) perkembangan suatu infeksi HPV untuk menjadi kanker serviks berlangsung lambat dan membutuhkan waktu lama;
2) survai epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi infeksi HPV adalah 10-30 %, sedangkan risiko wanita untuk mendapatkan kanker serviks lebih kurang 1%;
3) penyakit kanker adalah monoklonal, artinya penyakit ini berkembang dari satu sel.

Oleh karena itu, hanya satu atau beberapa saja dari sel-sel epitel yang terinfeksi HPV mampu lepas dari kontrol pertumbuhan sel normal.
Perkembangan teknologi hibridasi DNA telah memperkaya
pengetahuan kita tentang hubungan HPV dan kanker serviks.
Pada analisis risiko didapatkan perbedaan yang besar antara
HPV 16/18 yang menyebabkan NIS 1; bila dibandingkan
dengan HPV 6/11 didapat risiko relatif hampir 1212 kali lebih
besar. Pada NIS 2 risiko relatif yang disebabkan HPV 16/18
mencapai 1515 kali dibandingkan kontrol. Pada NIS 3 semuanya
disebabkan oleh HPV 16/18 dan risiko relatif untuk berkembang
menjadi kondiloma invasif secara prospektif
sebanyak 70 % selama pengamatan 12 tahun.
Rangkuman dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa
Cermin Dunia Kedokteran No. 133, 2001 9
HPV tipe 6 dan 11 ditemukan pada 35 % kondiloma akuminata
dan NIS 1, 10 % pada NIS 2-3, dan hanya 1% ditemukan pada
kondiloma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10 %
kondiloma akuminata dan NIS 1,51% pada NIS 2-3, dan pada
63 % karsinoma invasif. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya
dengan kanker serviks, yaitu :
1) HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada karsinoma invasif;
2)HPV risiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58;
3) HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31.

PERUBAHAN FISIOLOGIK EPITEL SERVIKS
Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan
epitel kolumnar; kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan
skuamosa-kolumnar (SSK) yang letaknya tergantung pada
umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan aktivitas
seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena
trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada
epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel
skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar.
Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH
vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering
dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini
maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan
SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel
skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua
SSK ini disebut daerah transformasi.

PERUBAHAN NEOPLASTIK EPITEL SERVIKS
Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya
dengan proses metaplasia. Masuknya mutagen atau bahanbahan
yang dapat mengubah perangai sel secara genetik pada saat
fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi
ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di SSK atau
daerah transformasi. Mutagen tersebut berasal dari agen-agen
yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa
human papilloma virus (HPV) memegang peranan penting. Sel
yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel
displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia.
Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia
berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi
karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ
dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.
Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi
epitel skuamosa yang secara sitologik dan histologik
berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi persyaratan
sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal
epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan
pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan
maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Selasa, 28 Juni 2011

Manfaat Pewarnaan Imunohistokimia Sebagai Pembantu Diagnosis Penyakit Hirschprung pada Sediaan Hematoksilin dan Eosin Biopsi Isap Rektum Yang Inkonklusif

Beberapa kesulitan yang berperan dalam proses pemeriksaan pada sediaan biopsi isap rektum untuk diagnosis penyakit Hirschsprung, telah ditemukan pada pemakaian pewarnaan H&E dan Asetilkolin esterase. Oleh karena itu perlu dicari suatu prosedur diagnostik lain yang mungkin dapat memecahkan masalah ini, yaitu dengan pemakaian pewarnaan imunohistokimia neuronspesifik enolase (NSE) dan protein
S-100. Tujuan penelitian ini untuk melihat kemampuan tehnik pewarnaan imunohistokimia NSE dan protein S-100 mempertajam diagnosis morfologik penyakit Hirschsprung, terhadap sediaan-sediaan yang telah diwarnai dengan H&E yang hasilnya inkonklusif atau meragukan. Penelitian dilakukan terhadap 37 buah sediaan histopatologi biopsi isap rektum dari arsip Bagian Patologi Anatomik FKUI/RSCM, dengan
diagnosis klinik penyakit Hirschsprung atau dugaan penyakit Hirschsprung. Terdiri atas 7 sediaan yang dengan H&E diagnosisnya Hirschsprung dan 30 diagnosisnya inkonklusif. Juga disertakan beberapa-sediaan reseksi yang ada diagnosisnya dari kasus yang diteliti sebagai kontrol ketepatan diagnosisnya. Pewarnaan ulang dengan tehnik imunohistokimia menurut metoda StreptAvidinbiotin, dilakukan setelah pewarnaan H&E nya dilunturkan terlebih dahulu. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kemampuan pewarnaan
protein S-100 pada sediaan H&E yang representatif dengan diagnosis penyakit Hirschsprung, nilainya sama untuk menampilkan serabut saraf hipertrofik dan sedangkan untuk menampilkan ganglion lebih baik bila dibandingkan dengan H&E. Terhadap sediaan H&E inkonklusif yang representatif atau tidak representatif sangat baik sekali dibandingkan H&E. Bahkan ketepatannya sama dengan diagnosis sediaan reseksinya
(100%). NSE rendah positivitasnya pada sediaan H&E konklusif dan inkonklusif dalam penampilan serabut saraf hipertrofik, walaupun penampilan sel ganglionnya sama dengan protein S-100. Juga ketepatan diagnosisnya rendah dibandingkan diagnosis reseksinya (22,22%). Kesimpulan yaitu telah ditemukan cara pengelolaan sediaan histopatologik, yang dapat digunakan untuk mempertajam akurasi morfologik penyakit
Hirschsprung, pada sediaan biopsi isap rektum yang sebelumnya telah diwarnai dengan H&E tetapi hasilnya inkonklusif; Yaitu dengan tehnik imunohistokimia NSE dan Protein S-100 pada sediaan tersebut, dengan melunturkan pewarnaan H&E nya terlebih dahulu dan dengan diharapkan preparasi sampel jaringan yang lebih baik sebelumnya.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Senin, 27 Juni 2011

Masalah pada Serviks

Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita
wanita-wanita di negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia. Di negara maju kanker ini menduduki urutan ke-10
dan bila digabung maka ia menduduki urutan ke-5.
Sebagaimana kanker umumnya maka kanker serviks akan
menimbulkan masalah-masalah berupa kesakitan (morbiditas),
penderitaan, kematian, finansial/ekonomi maupun lingkungan
bahkan pemerintah.
Dengan demikian penanggulangan kanker umumnya dan
kanker serviks khususnya harus dilakukan secara menyeluruh
dan terintegrasi.
INSIDENS DAN FREKUENSI
Berapa banyakkah insidens kanker serviks di Indonesia?
Departemen Kesehatan RI memperkirakan insidensnya adalah
100 per 100.000 penduduk pertahun. Data yang dikumpulkan
dari 13 laboratorium patologi-anatomi di Indonesia menunjukkan
bahwa frekuensi kanker serviks tertinggi di antara
kanker yang ada di Indonesia maupun di Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo.
Jika dilihat penyebarannya di Indonesia terlihat bahwa
92,44% terakumulasi di Jawa-Bali.
USIA
Insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun
dan menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun di Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, dan 45-
54 tahun di Indonesia (tabel 4)(2). Laporan FIGO pada tahun
1998 menunjukkan kelompok usia 30-39 tahun dan 60-69
tahun terbagi sama banyaknya. Secara keseluruhan, stadium Ia
lebih sering ditemukan pada kelompok usia 30-39 tahun,
sedang untuk stadium IB dan II lebih sering ditemukan pada
kelompok usia 40-49 tahun. Kelompok usia 60-69 tahun
merupakan proporsi tertinggi pada stadium III dan IV(3).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto
mangunkusumo stadium Ib, IIa, IIb sering terdapat pada
kelompok usia 35-44 tahun, stadium IIIb sering pada kelompok
usia 45-54 .
PENDIDIKAN
Umumnya penderita berpendidikan rendah dengan ratarata
6,71 +/- SD 3,94 tahun, baik secara keseluruhan stadium
ataupun kalau dilihat pada stadium tertentu saja. Pendidikan
penderita minimum 0 tahun dan maksimum 19 tahun. Karena
keadaan sosial ekonomi sukar dinilai maka dengan mengetahui
tingkat pendidikan penderita keadaan sosial ekonominya dapat
diperkirakan.
PARITAS
Paritas tersebar rata baik pada stadium awal maupun
stadium lanjut dengan rata-rata 4,74 +/- 2,47. Minimum paritas
0 dan maksimum 13 (tabel 6)(2).
STADIUM
Kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Penderita
dengan stadium IIb-IVb sebanyak 66,4%. Kebanyakan dengan
stadium IIIb yaitu sebanyak 37,3% atau lebih dari 1/3 kasus,
dan stadium awal yaitu Ia-IIa hanya sebanyak 28,6% (tabel
7)(2). Data ini menunjukkan bahwa banyak penderita datang
sangat terlambat dan mencari pertolongan hanya setelah terjadi
perdarahan. Hal ini berlawanan dengan laporan FIGO yang
menyatakan bahwa kebanyakan pasien datang pada stadium II
atau kurang(3). Hal ini dapat dipahami karena pendidikan yang
kurang, sosial ekonomi rendah dan tidak terjangkaunya/ter
sedianya skrining oleh penderita.
DIAGNOSIS
Tes Pap bermanfaat untuk menapis kanker ini pada
stadium prakanker dan kemudian dikonfirmasi dengan
pemeriksaan biopsi jaringan dengan atau tanpa alat bantu
seperti kolposkopi. Sedang pada yang invasif selain
pemeriksaan fisik dan biopsi juga perlu periksaan penunjang
lainnya seperti sistoskopi (buli-buli), rektoskopi (rektum), foto
paru, ginjal, USG dan tambahan CT-scan atau MRI.
Pemeriksaan penunjang ini memerlukan biaya yang mahal
dan sangat memberatkan penderita maupun keluarganya
apalagi dengan situasi ekonomi yang sedang parah saat ini.
PENGOBATAN
Pengobatan prakanker atau kanker tergantung dari tingkat
penyakitnya. Pada prakanker pengobatan dari sekadar destruksi
lokal misalnya kauterisasi sampai dengan pengangkatan rahim
sederhana (histerektomia). Sedang pada kanker invasif
umumnya pengobatan adalah operasi, radiasi, kemoterapi atau
kombinasi. Operasi dilakukan pada stadium awal (Ia-IIa),
radiasi dapat diberikan pada stadium awal atau lanjut tetapi
masih terbatas di panggul, sedang kemoterapi diberikan pada
stadium lanjut dan sudah menyebar jauh atau dapat diberikan
bila terjadi residif atau kambuh.
Biaya pengobatan makin tinggi dengan lanjutnya stadium
Penyakit.
KESAKITAN/MORBIDITAS
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan
yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks.
Sebagian besar lesi prakanker tidak menimbulkan gejala seperti
terlihat pada data dari the Leiden Cytology and Pathology
Laboratory pada 1975-1976 (tabel 10), sedang data Boon dan
Suurmeijer pada tahun 1985 menunjukkan 92% tidak ada
gejala sama sekali dan kalaupun ada berupa: perdarahan
sesudah bersanggama, perdarahan di luar masa haid,
perdarahan pada pascamenopause, keluar cairan dari vagina
berwarna kemerahan, rasa berat di perut bawah dan rasa kering
di vagina.
Bila sudah terjadi kanker maka akan timbul gejala yang
sesuai dengan tingkat penyakitnya yaitu dapat lokal atau
tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan sesudah
bersanggama (seksual aktif), atau dapat juga terjadi perdarahan
di luar masa haid, pascamenopause. Bila tumornya besar dapat
terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir
keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut maka akan
timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung
kemih dan usus besar.
Gejala lain yang ditimbulkan dapat berupa gangguan organ
yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan
kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau
patah tulang), hati (nyeri perut kanan atas, kuning atau
pembengkakan) dan lain-lain.
KEMATIAN/MORTALITAS
Akibat serius dari penyakit ini adalah kematian. Makin
tinggi stadium penyakitnya makin sedikit penderita yang dapat
bertahan hidup/survive
Besarnya masalah yang timbul tergantung pada tingkat
penyakitnya. Makin tinggi tingkat penyakitnya makin besar
masalah yang ditimbulkannya. Dengan demikian deteksi dini
merupakan hal yang sangat bermanfaat untuk mengeleminasi
kerugian fisik, materi, psikis dan sosial yang diakibatkan oleh
penyakit ini.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Minggu, 26 Juni 2011

Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal

Kanker serviks masih merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas kanker pada wanita di seluruh dunia.
Faktor risiko terpenting untuk terjadinya kanker serviks ini
berhubungan dengan adanya infeksi HPV dan perilaku seksual.
Faktor risiko lainnya seperti merokok, nutrisi dan kontrasepsi
hormonal berperan terhadap infeksi HPV dan dengan mekanisme
tertentu memperkuat terjadinya perubahan neoplastik.
Di negara yang telah melaksanakan, program penapisan
Tes Pap telah dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
akibat kanker serviks. Setiap tahun diperkirakan terdapat
500.000 kasus kanker serviks baru di seluruh dunia. 77% di
antaranya ada di negara-negara berkembang. Di Indonesia
diperkirakan sekitar 90-100 kasus kanker baru di antara
100.000 penduduk pertahun, atau sekitar 180.000 kasus baru
pertahun, dengan kanker ginekologik di tempat teratas. Di
Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta lebih dari 60% kasus kanker serviks
sudah berada dalam stadium lanjut dengan angka ketahanan
hidup yang sangat rendah. Diketahui bahwa pengobatan pada
tahap pra kanker (ASCUS, LGSIL, HGSIL, karsinoma in situ
dan lesi glanduler) memberi kesembuhan sampai 100%.
Dalam upaya ,menurunkan angka kejadian kanker serviks,
perlu disadari akan pentingnya pencegahan dan deteksi dini.
Pemeriksaan Tes Pap merupakan salah satu sarana untuk
deteksi dini kanker serviks.
Berbagai cara pelaporan Tes Pap telah kita kenal, mulai
dari klasifikasi Papaniculaou sampai terminologi ke sistem
Bethesda; sebaiknya seorang klinikus/Ahli Obstetri dan Ginekologi
mengetahui padanan dari berbagai terminologi tersebut,
sebab sampai saat ini di Indonesia tidak semua ahli patologi
anatomi menggunakan terminologi yang sama (belum menggunakan
sistem Bethesda). Yang terpenting adalah adanya
komunikasi yang baik antara ahli sitopatologi dan klinikus,
karenanya laporan sitologi harus dapat dimengerti oleh
klinikus yang akan menangani pasien selanjutnya.
Dalam makalah ini akan dijabarkan penatalaksanaan hasil
tes Pap abnormal. Seperti diketahui, hasil Tes Pap bukan
merupakan suatu diagnosis definitif untuk menentukan tindakan
operatif, pasien dengan hasil tes Pap abnormal harus terlebih
dahulu menjalani biopsi terarah dengan kolposkopi untuk
pemeriksaan histopatologi sehingga tidak merupakan tindakan
yang berlebihan (over treatment) ataupun kekurangan (under
treatment).

RAGAM TERMINOLOGI PELAPORAN SITOLOGI
Terminologi yang semula banyak digunakan dalam pelaporan
mengacu pada klasifikasi Papanicolaou (Papaniculaou
& Traut 1943) yang dinyatakan dalam kelas I - kelas V. Klasifikasi
ini banyak ditinggalkan karena:
(1) tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina,
(2) tidak memiliki padanan dengan terminologi histopatologi,
(3) tidak mencantumkan diagnosis non kanker,
(4) interpretasinya tidak seragam,
(5) tidak menunjukkan pernyataan diagnosis.

Pada tahun 1953, Reagen mengajukan terminologi displasia-
karsinoma insitu dan karsinoma invasif. Terminologi
ini terdiri atas negatif, displasia ringan, displasia keras, karsinoma
insitu dan karsinoma invasif. Penerimaan ahli patologi
terhadap terminologi ini cukup baik sehingga dipakai secara
luas. Kelemahan terminologi ini yakni adanya ketidak
sinambungan pengertian akibat adanya perbedaan antara
displasia keras dan kasinoma in situ. Untuk memperbaiki
kekurangan tersebut pada tahun 1967 Richart mengajukan
terminologi neoplasia intra-epitelial serviks (NIS) dengan
kategori NIS 1 sesuai dengan displasia ringan, NIS 2 sesuai
dengan displasia sedang dan NIS 3 sesuai dengan displasia
keras dan karsinoma insitu. Keluhan yang muncul terhadap
klasifikasi ini adalah pada NIS 1 yang menyatakan potensi
keganasan tetapi meliputi kelompok besar displasia ringan
yang sebagian besar hanya akibat peradangan.
Pada tahun 1988 dan 1991 pertemuan para ahli sitopatologi
melahirkan sistem Bethesda sebagai sistem pelaporan sitopatologi
baru yang bertujuan
(1) menghilangkan kelas-kelas Papaniculaou,
(2) menciptakan terminologi seragam memakai istilah diagnostik
(3) memasukkan pernyataan adekuasi dan
(4)membuat sitologi sebagai konsultasi medik antar ahli sitologi
dan klinikus.
Selain ini sistem Bethesda juga mengandung
unsur:
(1) komunikasi yang efektif antara ahli sitopatologi dan
dokter yang merujuk,
(2) mempermudah korelasi sitologihistopatologi,
(3) mempermudah penelitian epidemiologi, biologi dan patologi,
(4) data yang dapat dipercaya untuk analisis statistik nasional dan internasional. Kelebihan cara pelaporan The Bethesda System (TBS) adalah penyederhanaan
terminologi dengan memakai terminologi diagnostik yang jelas
untuk kategori umum:
(1) dalam batas normal,
(2) perubahan seluler jinak dan
(3) abnormalitas sel epitel.

TES PAP ABNORMAL DENGAN SISTEM PELAPORAN
BETHESDA SERTA PENATALAKSANAANNYA

1. Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance
(ASCUS)/Sel skuamosa atipik yang tidak dapat ditentukan
artinya.
Keadaan prakanker serviks mengalami banyak perubahan
dalam terminologinya. Pertemuan Bethesda menyuguhkan istilah
ASCUS dan Lesi Intraepitel Skuamosa (LIS) untuk pengertian
neoplasia serviks. ASCUS (Atypical squamous cells of
undetermined significance) yaitu istilah yang meliputi kelainan
seluler melebihi kelainan yang disebabkan perubahan reaktif/
inflamasi akan tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi intraepitel.
Kriteria ASCUS termasuk pembesaran inti (2-3 kali dari
inti sel intermediate), ratio inti: sitoplasma sedikit meningkat,
variasi bentuk dan besar, dinding inti rata dan reguler,
kromatin halus sedikit hiperkromatik, inti ganda dan anak inti
ditemukan, termasuk di sini metaplasia atipik, atipia atrofi dan
pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.
Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium
sitologi untuk membedakan ASCUS cenderung ke arah
peradangan (ASCUS favoring inflammation) dan ASCUS cenderung
ke arah neoplasia (ASCUS favoring neoplasia). Hal ini
penting karena penatalaksanaannya sedikit berbeda; bila cenderung
ke arah peradangan mungkin dapat dilakukan follow up
saja tetapi bila cenderung ke arah neoplasia disarankan untuk
langsung dilakukan kolposkopi. Penanganan hasil tes Pap
ASCUS masih kontroversial. Perlu diketahui bahwa dari suatu
penelitian meta analisis diketahui bahwa sekitar 70% ASCUS
dapat regresi ke normal dan 7-8% menjadi progresif ke LIS
derajat berat sedangkan yang menjadi kanker invasif hanya
0,25%.Di beberapa negara maju dianjurkan untuk dilakukan
deteksi dengan pemeriksaan DNA HPV (Hybrid Capture II).

2. Low-Grade Squamous Cells of Intraepithelial Lesion
(LG-SIL)/Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah (LISDR).
Lesi intraepitel skuamosa (LIS) serviks uteri merupakan
suatu keadaan neoplastik yang masih terbatas di atas membran
sel. LIS dibagi menjadi dua kelompok; (1) LIS derajat rendah
dan (2) LIS derajat tinggi. LIS derajat rendah meliputi gambaran
infeksi virus HPV dan displasia ringan/NIS 1, sedangkan
LIS derajat tinggi merupakan keadaan displasia sedang/NIS 2
dan displasia berat-karsinoma insitu/NIS 3.
Bila didapatkan hasil tes Pap berupa suatu LIS derajat
rendah, termasuk di antaranya infeksi HPV dan displasia
ringan/NIS 1, ada dua pilihan penatalaksanaannya yaitu
dengan (1) segera melakukan pemeriksaan kolposkopi dan (2)
follow up tes Pap sitologi secara periodik. Berbeda dengan
penatalaksanaan dengan LIS derajat tinggi yang harus di follow
up dengan kolposkopi untuk konfirmasi histopatologi.
Di Subbagian Sitopatologi Obstetri dan Ginekologi FKUI/
RSCM hasil tes Pap LIS derajat rendah langsung diikuti
dengan pemeriksaan kolposkopi. Hal ini masih dilematis dan
kontroversial mengingat dari suatu hasil studi meta analisis
selama 24 bulan, sekitar 50% LIS derajat rendah menjadi
regresi ke normal, 20% menjadi progresif ke LIS derajat berat
dan hanya 0,15% menjadi kanker invasif. Sedangkan hanya
35% LIS derajat berat regresi menjadi normal, tetap LIS
derajat berat 24% dan menjadi kanker invasif 1,44%.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa makin rendah
derajat kelainan maka kemungkinan regresi menjadi normal
makin besar, sedangkan makin tinggi derajat kelainan, makin
mungkin progresif ke tingkat tinggi. Akan tetapi mengingat
hasil tes Pap mempunyai angka negatif palsu 5-50%, pada tes
Pap LIS derajat rendah, mungkin saja dengan biopsi terarah
sudah LIS derajat berat (15-40%), secara spontan menjadi
progresif (40-70%) dan mempunyai risiko menjadi kanker
invasif (1%).
Keuntungan melakukan kolposkopi segera pada LIS derajat
rendah adalah:
(1) kolposkopi dapat melakukan biopsi terarah
untuk mendapatkan diagnosis akurat histopatologi,
(2) kolposkopi mengurangi rentang waktu progresifitas lesi intraepitel
serviks (NIS) dalam melakukan follow up tes Pap dan
(3) kolposkopi dapat mendeteksi kemungkinan negatif palsu
dari sitologi, termasuk juga untuk memberi ketenangan pada
pasien.

3. High-Grade Squamous Cells Intraepithelial Lesion (HGSIL)/
Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi (LIS-DT).
Walaupun saat ini para ahli sepakat bahwa semua hasil
LIS derajat berat harus diterapi, tetapi masih terdapat kontroversi
pada aspek hubungan natural history, diagnosis dan pilihan
terapi untuk LIS derajat tinggi. Pendekatan terapi konservatif
pada lesi intraepitel non invasif serviks makin meningkat
dalam 15 tahun terakhir.
Di Subbagian Sitopatologi Obstetri dan Ginekologi
FKUI/RSCM pada tes Pap LIS derajat berat harus segera
diikuti pemeriksaan kolposkopi untuk menentukan derajat lesi
berdasarkan histopatologi.
Dengan penatalaksanaan optimal suatu LIS derajat berat
dapat dieradikasi sampai dengan 90% pada pengobatan pertama.
LIS derajat berat dapat diterapi dengan loop eksisi
diatermi atau eksisi laser tergantung dari keahlian seorang
ginekolog. Tetapi disarankan untuk melakukan terapi eksisi
laser konisasi pada lesi yang meluas sampai kanalis serviks dan
loop eksisi diatermi pada lesi yang jelas tampak pada ostium
eksternum. LIS derajat berat HGSIL Kolposkopi
Bila kolposkopi lesi memuaskan Bila kolposkopi lesi tidak memuaskan
dilakukan biopsi terarah dilakukan tindakan konisasi/LLETZ
untuk pemeriksaan histopatologi

4. Atypical Glandular Cells of Undetermined Significance
(AGUS)/Sel glanduler atipik yang tidak dapat ditentu-kan
artinya.
Hasil tes Pap AGUS merupakan indikasi untuk segera
melakukan pemeriksaan kolposkopi; pada suatu penelitian
lebih dari 36% hasil tes Pap AGUS berhubungan dengan lesi
invasif. Biasanya lesi tersebut berasal dari serviks, tetapi dapat
pula berasal dari endometrium atau sangat jarang berasal dari
ovarium. Bila AGUS cenderung ke arah neoplasia maka direkomendasikan
untuk melakukan kolposkopi, biopsi dan kuretase
endoserviks. Bila hasil pemeriksaan kolposkopi negatif
maka dianjurkan untuk melakukan konisasi. Angka positif
palsu pada tes Pap AGUS adalah sekitar 2%, tetapi pada
penelitian lain lebih tinggi. Akan tetapi pada wanita dengan tes
Pap sel glanduler abnormal sering disertai juga terdapat LIS
derajat berat/NIS 3, adenokarsinoma insitu atau kanker invasif.

5. Adenokarsinoma Insitu Serviks (AIS).
Adenokarsinoma insitu jarang ditemui tetapi kejadiannya
meningkat dari tahun ke tahun. Skrining kanker serviks dengan
tes Pap, dilanjutkan dengan kolposkopi dan terapi terhadap
abnormalitas prekanker secara nyata telah berhasil menurunkan
insiden kanker serviks sel skuamosa, sehingga penatalaksanaan
konserviatif juga meningkat. Walaupun kanker sel
skuamosa masih merupakan mayoritas kanker serviks, adenokarsinoma
sekarang tampak meningkat sampai 20% dari
seluruh kanker serviks. Skrining tidak berpengaruh terhadap
insiden adenokarsinoma serviks. Lesi prakanker sel glanduler
serviks sangat sulit ditentukan, baik secara sitologi maupun
dengan kolposkopi sekalipun. Akurasi sitologi serviks untuk
prediksi adanya kelainan glanduler hanya 50%.
Hal penting pada adenokarsinoma insitu adalah
(1) program skirining kanker serviks tidak mempunyai pengaruh
terhadap insiden adenokarsinoma invasif serviks,
(2) AIS jarang ditemui, lebih sering terdiagnosis setelah dilakukan
konisasi diagnostik serviks pada NIS 3,
(3) Sitologi hanya dapat memprediksi 50% kelainan glanduler, (tidak ada
gambaran khusus kolposkopi pada AIS),
(4) penatalaksanaan konservatif hanya dilakukan pada wanita yang masih memerlukan
reproduksi setelah diyakini dengan konisasi diagnosis
bebas tumor pada tepi sayatan dan memungkinkan untuk
melakukan follow up sitologi termasuk sampel yang akurat dari
kanalis servikalis.

Tes Pap masih merupakan sarana skrining yang mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk mendeteksi
dini lesi pra kanker dan infeksi HPV
Hasil tes Pap abnormal tidak dapat dijadikan dasar diagnosis
untuk suatu penatalaksanaan selanjutnya. Tindakan lanjut
dari suatu Tes Pap abnormal adalah dengan pemeriksaan kolposkopi
dan biopsi lesi dari serviks untuk pemeriksaan histopatologi,
yang merupakan diagnostik pasti untuk penatalaksanaan
definitif.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan

Sabtu, 25 Juni 2011

Mekanisme Proteksi Mukosa Saluran Cerna


Mukosa saluran pencemaan merupakan barier antara tubuh
dengan berbagai bahan, termasuk produk-produk pencernaan,
toksin, obat-obatan, makanan/minuman dan mikroorganisme
yang masuk lewat saluran cerna.
Dalam saluran pencemaan terdapat berbagai sistem yang
kompleks, sehingga bahan-bahan yang berguna oleh tubuh akan
diserap dan bahan-bahan yang talc berguna dinetralisir oleh
sistem tersebut.
Saluran pencernaan mengandung berbagai sistem yang secara
efektif dapat menangkap/proteksi terhadap bahan-bahan
yang masuk saluran cerna. Proteksi tersebut dilakukan oleh
adanya beberapa faktor :
1. Faktor pre-epitelial.
2. Integritas sel epitelial saluran cerna.
3. Proteksi oleh sistem imun yang terdapat lokal dalam saluran

pencernaan sendiri dan umum dalam sistem pembuluh
darah dan limfe.
Cairan musin yang dihasilkan oleh mukosa saluran cerna
disebut sebagai faktorpre-epitelial. Dalam lambung selain musin
juga dihasilkan cairan bikarbonat. Keduanya disebut sebagai
faktor pre-epitelial yang merupakan faktor proteksi paling depan
dalam saluran cerna yang letaknya meliputi secara merata
lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran cerna(l).
Lapisan sel epitel mukosa saluran cerna merupakan proteksi
selanjutnya setelah musin dan bikarbonat. Mempertahankan
integritas dan regenerasi lapisan sel epitel sangat penting untuk
mempertahankan fungsi sekresi dan absorbsi dalam saluran
pencernaan. Keriisakan sel epitel ini dapat menimbulkan
komplikasi yang sangat berat.
Mikroorganisme dan toksin yang diproduksi oleh kumankuman
dalam saluran cerna dapat merembes ke dalam sirkulasi
umum, yang selanjutnya dapat menimbulkan sepsis dan kegagalan
fungsi berbagai organ (multiple organ failure syndrome)
yang biasanya tingkat angka kematiannya tinggi(2,3,4).
Proteksi terhadap toksin, obat-obatan dan bahan lainnya
juga dilakukan dengan adanya sistem imun yang terdapat secara
lokal dalam saluran pencernaan sendiri dan sistemik dalam
sistem peredaran darah dan limfe, beserta organ-organnya(5).
Dalam makalah ini akan dibahas secara ringkas mekanisme
proteksi tiga faktor di atas dan kaitannya dengan beberapa
keadaan patologis yang sering terjadi dalam bidang klinik.

FAKTOR PROTEKSI LAPISAN PRE-EPITELIAL
Lambung merupakan bahagian dari saluran pencernaan
sebelah atas yang banyak sekali menghadapi pemaparan bahanbahan
yang dapat merusak jaringan mukosanya, termasuk bahan
yang datang dari luar, maupun oleh asam dan enzim proteolitik
yang diproduksinya sendiri. Oleh sebab itu dalam lambung
terdapat sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif
menangkal hal tersebut.
Cairan musin dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjarkelenjar
dalam mukosa lambung disebut sebagai proteksi preepitelial.
Sedangkan dalam saluran cerna lainnya disekresikan
cairan musin oleh berbagai kelenjar-kelenjar di lapisan
mukosanya sebagai faktor proteksi dan pelincir.

1. Cairan Musin
Di dalam lambung cairan musin disekresikan dalam dua
bentuk,larut (soluble) dan tak larut (insoluble). Bagian yang larut
adalah berupa mukoprotein yang diproduksi oleh sel peptik
(chief, peptic atau principal cell) dan sel leher (mucous neck
cells); produksinya tergantung dari rangsangan nervus vagus.
Fraksi ini talc berfungsi sebagai proteksi terhadap mukosa lambung
secara langsung.
Musin yang tak larut (unstirred layer) merupakan musin gel
esofagus dan lambung sampai pada pyloric junetion. Di samping
berfungsi sebagai pelincir,
untuk proteksi secara mekanis dan kimiawi terhadap apa yang
kita makan/minum, produksi asam lambung dan pepsin sendiri.
Di usus halus lapisan unstirred layer ini berfungsi untuk
proteksi terhadap absorbsi lemak dan memudahkan absorbsi
elektrolit dan obat-obatano). . Lapisan proteksi oleh musin yang
tak larut ini di lambung begitu kuatnya sehingga bahan asam
klorida dengan konsentrasi 0,1 M sampai dengan 1 M atau air
mendidih dapat ditahan tanpa menyebabkan ulserasi di lambung.
Beberapa bahan yang tercerna dan yang diproduksi ke
dalam lumen lambung dapat menembus barier ini dan masuk ke
lapisan epitel mukosa. Termasuk bahan ini adalah alkohol (etanol),
garam, gula dalam konsentrasi beberapa kali lebih tinggi dari
konsentrasinya dalam plasma. Konsentrasi yang tinggi ini dapat
terjadi pada minuman alkohol berkadar tinggi, manisan-manisan
dan kue-kue yang sangat manis. Bahan lain yang sangat kuat
menembus barier musin ini adalah aspirin, yang efektif dalam
kon§entrasi rendah sekalipun. Regurgitasi garam empedu juga
dapat merusak barier ini dalam konsentrasi rendah.

Tembusnya barier ini, akan memudahkan baliknya lagi
asam (HCl) dengan konsentrasi tinggi dari arah lumen ke arah
lapisan epitel mukosa sehingga merusak lapisan sel epitel dengan
berbagai akibat dan menimbulkan berbagai gejala dan keluhan :
a. Merangsang motilitas lambung akibat terangsangnya sistem
saraf, bila ini kuat dapat menimbulkan rasa nyeri perut dalam
berbagai tingkat dan bermacam-macam bentuk.
b. Merangsang ekskresi pepsinogen.
c. Membebaskan histamin, dengan akibat peningkatan produksi
asam lambung.
d. Pembebasan histamin juga menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan vasodilatasi dan selanjutnya terjadi
edema dan hiperemi, yang dapat berlanjut dengan terjadinya perdarahan.
e. Meningkatkan keasaman di sekitar lapisan sel epitelial, yang
dapat menimbulkan kegagalan transpor aktif melalui lapisan
mukosa lambung yang selanjutnya dapat merusak lipid bilayer
dan lebih lanjut dapat meracun sistem enzim di sel epitel, dengan
konsekuensi pembentukan enzim dan regenerasi sel epitel akan
terhambat dan akhirnya terjadi berbagai gangguan pada mukosa
termasuk gastritis, ulkus peptikum dengan berbagai keluhan
seperti nyeri di ulu hati, rasa mual, kembung, perih, muntah dan
muntah darah.

2. Cairan Bikarbonat
Sel-sel bagian permukaan, sel-sel leher dan sel prinsipal
kelenjar lambung mensekresikan bikarbonat kira-kira 24 mMol.
Bikarbonat ini bertujuan menetralisir keasaman di sekitar lapisan
sel epitel; suasana netral itu dibutuhkan untuk berfungsi dengan
baiknya enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan dalam
lapisan sel epitel mukosa. Di samping itu sel-sel di alas juga
memproduksi Natrium dengan konsentrasi sekitar 145 mMol.
Cairan bikarbonat dan musin yang tak larut merupakan
faktor penting untuk proteksi lapisan sel epitel terhadap enzimenzim
proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi untuk
menetralkan asam lambung sehingga area di permukaan
epitel saluran cerna bersifat netral, dengan demikian pepsin tak
bekerja di sekitar epitel serta HCl sendiri tak sampai merusak sel
epitel mukosa lambung.

3. Respon Mukosa Lambung terhadap Trauma
Adanya benda asing seperti toksin, bakteri atau bahan-bahan
terlalu asam atau basa yang masuk ke dalam lumen lambung,
memberikan respon cepat dan efektif oleh sistem dalam mukosa
lambung.
Mukosa lambung berusaha melokalisir bahan tersebut sehingga
kerusakan hanya terbatas dan mengenai superfisial. Respon
pertama adalah terjadinya hiperemia akibat peningkatan aliran
darah lokasi tersebut. Reaksi hiperemia menetralisir bahanbahan
asam basa atau toksin dan infeksi bakteri dan virus.
Hiperemia terjadi disebabkan banyak faktor termasuk respon
saraf dan hormonal sehingga aliran darah ke lokasi tersebut
meningkat. Bersamaan, akan terjadi peningkatan jumlah sel-sel
fagositosis, relaksasi otot,permeabilitas. Akibatnya daerah kerusakan
terlokalisir dan memudahkan perbaikan daerah yang
terkena.

FAKTOR PROTEKSI SEL EPITEL MUKOSA SALURAN
CERNA
Lapisan sel epitel sepanjang saluran cerna berfungsi
mensekresikan musin untuk pelincir dan proteksi serta enzimenzim
dan elektrolit yang dibutuhkan untuk proses pencernaan
dan absorbsi. Untuk keperluan ini sel epitel menggunakan
energinya sendiri yang sangat tergantung dari vaskularisasinya
dan zat gizi yang lengkap. Dalam keadaan normal vaskularisasi
ini sangat efektif dan sangat padat.
Lapisan sel-sel epitel saluran cema secara terus menerus
berganti dan beregenerasi setiap 1-3 hari, tergantung banyak
faktor. Pergantian dan regenerasi di daerah lambung, usus halus
dan usus besar berbeda. Pergantian dan regenerasi akan lebih
cepat dalam keadaan hipermetabolik seperti demam tinggi, stress
berat, sepsis dan dalam keadaan kelaparan. Pertumbuhan sel baru
dalam saluran cema diatur oleh banyak faktor termasuk tingkat
rata-rata penghanetrannya, jumlah mukosa yang masih baik dan
hormonal(6).

Saluran Pencernaan Pada Pasien Gawat dan Kritis
Dalam perawatan pasien gawat dan kritis saat ini, tim
perawatan masih terfokus pada perawatan intensif fungsi parupam,
fungsi jantung, ginjal dan hati, setelah keseimbangan air
dan elektrolit terpenuhi. Sebahagian masih beranggapan bahwa
saluran pencemaan tidak ada kaitannya dengan komplikasikomplikasi
berat dan hanya berfungsi dalam pencernaan dan
penyebaran makanan.
Perkembangan terbaru saat ini, meletakkan organ saluran
cema, sebagai organ sentral yang sangat panting fungsinya dan
harus sangat diperhatikan pada kasus-kasus gawat dan kritis,
untuk menghindari komplikasi berat.
Saluran cerna selain berfungsi untuk pencernaan dan penyerapan
makanan, juga berfungsi untuk barier mencegah
masuknya kuman-kuman dan endotoksin ke dalam tubuh. Pada
pasien gawat dan sangat gawat, barier paling depan yaitu sel
epitel mukosa saluran cerna melemah sehingga tubuh dapat
meracuni dirinya sendiri dari endotoksin yang dihasilkan di usus,
atau masuknya kuman ke sirkulasi darah sehingga timbul sepsis.
Masuknya endotoksin ke dalam tubuh sedikit demi sedikit dapat
menimbulkan demam, letih seperti gejala infeksi dan selanjutnya
memberikan respon peningkatan katabolisme tubuh. Keadaan
ini disebut sebagai hipermetabolik kronis(4). Hipermetabolisme
akibat endotoksin ini dapat berlanjut dengan yang lebih berat
berupa kelumpuhan berbagai organ (multiple organ failure syndrome),
dengan gejala-gejala gangguan pada hati, ginjal, jantung
dan darah(2). Angka kematian untuk "multiple organ failure" ini
bervariasi antara 30-100%. Telah dilaporkan bahwa endotoksin
yang menyebabkan komplikasi berat tersebut berasal dari
saluran pencernaan(7).
Lemahnya barier di saluran cerna dapat disebabkan tidak
cukupnya zat gizi dalam saluran pencemaan, bisa karena keadaan
penyakitnya sendiri atau operasi yang dilakukan, sehingga
saluran cerna menderita kelaparan dalam jangka waktu tertentu.
Bila kelaparannya berlanjut sampai berhari-hari, maka pertumbuhan
epitel mukosa usus terhambat dan selanjutnya
berangsur-angsur menjadi atropi, enzim-enzim dan musin yang
dihasilkan menurun, termasuk enzim proteolitik yang dihasilkan
di lambung dan usus halus yang ikut membunuh kumankuman
yang berada di sekitarnya. Bila keadaan berlanjut terus,
atropi bertambah luas, enzim-enzim proteolitik dan musin
makin menurun jumlahnya, sehingga barier paling depan dalam
saluran pencernaan makin lemah.
Untuk mempertahankan fungsi sel epitel mukosa saluran
cerna, perlu makanan dan zat gizi yang cukup dalam saluran
cerna sendiri. Pertumbuhan sel epitel saluran cerna menurun
pada starvasi pada tikus percobaan(8) dan pertumbuhan serta
perkembangan sel epitel saluran cerna tergantung dari sumber
makanan yang berada salam saluran cerna sendiri atau makanan
peroral(9,10).
Willmore dick, (1988)(11) menganjurkan pada pasien yang
hipermetabolik, seperti pada kasus-kasus bedah, trauma ataupun
sepsis, pemberian makanan sedini mungkin, kalau perlu dalam
48 jam pertama pasca bedah; dengan perkataan lain paling
lama hanya 48 jam, pasien boleh dipuasakan dan bila 48 jam
tidak dapat diberikan peroral, harus diberikan segera protein
parenteral. Hal ini bertujuan untuk mencegah rusaknya sel-sel
mukosa usus, yang fungsinya sangat penting untuk proteksi
tubuh terhadap endotoksinnya sendiri dan mencegah sepsis;
selain fungsi utamanya untuk pencernaan dan penyerapan
makanan.
Pasien yang mengalami keadaan hipermetabolik, kebutuhan
energi yang sangat meningkat sebagian besar hanya dipenuhi
dengan pemecahan protein tubuh. Karena pengaruh keseimbangan
hormonal dalam keadaan hipermetabolik terganggu,
sebahagian besar metabolisme glukosa dan lemak terhambat.
Di sini keterlambatan pemberian protein dan sumber energi
lainnya merupakan tindakan bunuh diri yang kalau sudah terjadi
kehancuran protein tubuh skeletal maupun viseral, prosesnya
berjalan progresif dan cepat. Pada tahap ini perkembangan
penyakit sudah sangat sulit dikendalikan dan biasanya tingkat
kematiannya sangat tinggi.
Pada keadaan hipermetabolik ini, pemberian makanan
sedini mungkin sangat penting dan lebih penting lagi, pemberian
makanan lewat saluran pencernaan secara dini, bila tak ada
kontra indikasi, akan melindungi dan mempertahankan fungsi
sel mukosa saluran cerna yang merupakan proteksi tubuh terhadap
endotoksin dan mikroorganisme yang berada dalam
saluran cerna.

FAKTOR PROTEKSI MELALUI SISTEM IMUN
Berbagai macam antigen masuk saluran cerna setiap hari
lewat makanan dan minuman termasuk bakteri, virus, parasit,
obat-obatan dan bahan pengawet makanan. Dalam saluran cerna
terdapat beberapa jenis sel yang sensitif terhadap antigen tertentu.
Sel-sel ini bekerja sangat efektif dalam usaha untuk proteksi
tubuh terhadap bermacām-macam antigen di atas. Patofisiologi
proteksi mukosa saluran cerna terhadap berbagai antigen telah
banyak dibicarakan.
Sel plasma yang sangat responsif terhadap antigen berada
tepat di bawah jaringan epitel dan antibodi yang dihasilkannya
ditransportasikan ke permukaan jaringan sel epitel dan bekerja
sangat efektif. Antibodi yang dihasilkan ini masih dapat bekerja
walaupun terdapat enzim-enzim proteolitik di permukaan mukosa
saluran cerna.
Di samping itu antigen yang terdapat dalam lumen saluran
cerna dapat merangsang jaringan limpoid dalam lamina propria
dan saluran cerna, selanjutnya diteruskan ke nodus limpatikus
mesentērikus (mesenteric lymph nodes), diteruskan ke duktus
thorasikus dan sistem sirkulasi umum; dan sampai di sini disebut
mature. Setelah matang (mature), limfosit-limfositnya kembali
lagi dan menetap dalam jaringan limfoid di usus, paru-paru, kelenjar
mamae, traktus genitourinarius dan female reproductive
tract. Jaringan limpoid yang telah menyebar rata ini berbeda
fungsinya dari sistem imun yang bersifat sistemik dan sering
disebut sebagai common mucosal immunologic system.
Komponen yang lain dari sistem imun dalam saluran cerna
adalah limfosit dan monosit yang terdapat di seluruh mukosa
saluran cerna. Komponennya terbagi dalam dua bagian. Yang
pertama, terdapat dalam lamina propria T,makrofag, monosit dan
sel plasma. Bagian yang kedua berada dalam jaringan epitel
(intraepithelial compartment), yang terutama mengandung
limfosit dan sebahagian kecil makrofag.
Dalam keadaan infeksi di saluran cerna, sel eosinofil dan
sel-sel polimorfonuklear juga memasuki jaringan intra epitelial.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan