Koalisi Hutan Global menyelenggarakan acara side event pada hari Rabu, 5 Desember 2007, saat berlangsungya Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua, Bali, dengan tajuk “Strategi yang berlawanan: mempromosikan bahan bakar agro dan mengurangi penggundulan hutan”. Presentasi ini mengangkat tema besar tentang kontradiksi antara pengembangan dan produksi bahan bakar agro (agrofuels) dan pengurangan tingkat penggundulan hutan dan perusakan hutan di negara-negara berkembang yang dikenal dengan konsep REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), juga pentingnya menjaga hak-hal masyarakat lokal.
Pembicara pertama merupakan salah seorang aktivis lingkungan yang juga peneliti dari Paraguay yang mempresentasikan bagaimana usaha untuk promosi serta pengembangan bahan bakar agro yang dipercaya dapat mengurangi emisi karbon dan memiliki dampak yang sangat kuat dan besar terhadap perusakan dan penggundulan hutan, karena terjadinya Euphoria bahan bakar agro yang dapat memberikan pemasukan yang besar sehingga lahan hutan berubah menjadi lahan untuk kebutuhan bahan bakar agro. Kemudian dilanjutkan dengan presentasi dari salah seorang peneliti dari Koalisi Hutan Global yang mengangkat persoalan bagaimana generasi kedua dari bahan bakar biologis (biofuels) akan merusak hutan alam dan juga malah memperburuk pemanasan global. Biofuel generasi kedua yang saat ini dipromosikan adalah ethanol yang terbuat dari selulosa. Pertanyaan utamanya adalah apakah etanol selulosa ini merupakan sebuah solusi atau masalah besar lainnya?
Konferensi ini dibuka dengan paparan mengenai bagaimana generasi kedua dari biofuel ini, yaitu biofuel yang berasal dari sumber-sumber selulosa seperti pohon dsb dilahirkan. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dan perhatian akan terjadinya
kompetisi antara pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan bakar yang terjadi dalam bentuk perebutan tata guna lahan. Hal ini diperkuat dengan dokumentasi yang sangat baik dari perusakan hutan-hutan tropis yang sangat parah seperti hutan Amazon, untuk penanaman kedelai, sebagai reaksi langsung dari meningkatnya kebutuhan akan biofuel. Maka berkembanglah wacana tentang generasi kedua biofuel. Global Forest Coalition (GFC) berargumen bahwa pemanfaatan selulosa terutama yang berasal dari pohon akan memperbesar masalah yang ada, bahkan membuat persoalan baru. Menurut GFC, industri bioteknologi melihat ethanol dari bahan selulosa ini sebagai kesempatan untuk mempromosikan penemuan mereka berupa pohon ‘frankentree’, yaitu pohon-pohon yang dikembangkan melalui rekayasa genetik, sebagai jawaban atas nama membantu menyelesaikan masalah pemanasan global. GFC berargumen bahwa industri bioteknologi ini memperkuat dirinya bersama perusahaan agrobisnis dan perusahaan minyak untuk menciptakan kemitraan yang berbahaya.
Menurut GFC, agrofuels ini merupakan hegemoni yang diciptakan oleh Amerika Serikat, dengan argumen-argumen sebagai berikut :
· Departemen energi Amerika Serikat telah berinvestasi secara besar-besaran di dalam apa yang disebut sebagai agrofuel ’generasi kedua’ termasuk ethanol selulosa yang berasal dari rekayasa genetis terhadap pepohonan. Salah satu fasilitas riset yang mendukung adalah Oak Ridge National Laboratory, tempat dikembangkannya bom atom.
· Center Intelligent Agency (CIA) terlibat dalam pengembangan ini.
· Biofuels menjadi salah satu cara yang paling baru yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk tetap mengontrol serta mengelola suplai energi dunia dan juga untuk tetap mempromosikan agenda global mereka tentang dominasi korporasi.
Beberapa fakta yang dideskripsikan dengan baik oleh GFC adalah sebagai berikut :
· Salah satu dari daerah hutan terluas di AS bagian tenggara, ditutupi oleh perkebunan pinus. Daerah ini menjadi salah satu produsen terbesar pulp untuk kertas.
· Saat ini ada aktifitas untuk mengubah perkebunan pinus ini menjadi sumber biofuels untuk ethanol selulosa. Negara bagian Georgia bahkan ingin menjadi ’Saudi Arabia’ dari biofuels, dengan menggunakan perkebunan pinus mereka menjadi sumber biofuels.
· Transformasi perkebunan pinus dari sumber pulp menjadi sumber biofuels akan sangat mengurangi jumlah pulp yang tersedia untuk kebutuhan kertas.
· Pemenuhan untuk kebutuhan pulp ini akan mencari sumber yang lain. Permintaan akan tetap, sehingga pemenuhannya akan dipenuhi dari AS atau perusahaan-perusahaan akan mendapatkannya dari daerah lain.
Dari segala akibat dan ancaman agrofuels terhadap hutan dan kelompok tradisional yang hidup dari hasil hutan, menurut GFC, ethanol selulosa adalah ancaman terbesar, karena timbulnya permintaan yang sangat besar terhadap kayu yang akan menimbulkan perubahan orientasi pemanfaatan kayu dari pasar kertas menjadi pasar agrofuels. Timbulnya kebutuhan yang besar terhadap kayu ini akan mengakibatkan beberapa hal seperti: penebangan atau penebangan liar terhadap hutan-hutan asli, dan juga ekspansi perkebunan pohon-pohon monokultur. Di mana? Di hutan-hutan alam, ekosistem yang lain (seperti padang rumput), di kawasan yang dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat lokal.
Organisme Berbahaya
Salah satu hal yang juga diperhatikan oleh GFC adalah adanya penciptaan sebuah organisme, dimana ethanol selulosa ini memerlukan penggunaan modifikasi genetik serta penggunaan organisme baru. Yang kita tidak tahu adalah akibat yang akan terjadi pada lingkungan jika ketika organisme ini secara tidak sengaja terlepaskan. Contohnya, saat ini ada perusahaan-perusahaan yang sedang mengembangkan enzim untuk mencerna kayu untuk ethanol selulosa. Perusahaan-perusahaan ini juga sedang mengembangkan pohon dengan enzim melalui rekayasa gentik yang dapat mencerna dirinya sendiri. Kita bisa sama-sama membayangkan betapa bahayanya ketika enzim ini dilepaskan di hutan.
Hal berikutnya yang menjadi perhatian adalah adanya invasi ’makhluk asing’ pada hutan-hutan. Siapakah ’makhluk asing’ tersebut? Mereka adalah pohon-pohon yang telah direkayasa secara genetis. Contoh yang paling nyata adalah rekayasa genetik terhadap Eucalyptus agar menjadi lebih tahan terhadap suhu dingin. Yang akan terjadi adalah kemungkinan invasi ’makhluk asing’ berupa pohon dengan rekayasa genetik ini ke wilayah-wilayah lain, yang akan mengancam ekosistem hutan yang ada. ArborGEN sebuah perusahaan rekayasa genetik dari AS telah menerima ijin dari USDA (badan pembangunan AS) untuk mencoba hasil test Eucalyptus mereka dan mengembangkan biji Eucalyptus tersebut, dan perusahaan ini sedang meminta ijin yang sama kepada pemerintah Brazil. Persoalannya adalah akan terjadi kontaminasi terhadap hutan berupa pohon-pohon dengan rekayasa genetik.
Memperburuk Pemanasan Global
Menurut laporan yang dibuat oleh World Resources Institute dan juga US EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS), hutan tropis dapat menyimpan karbon dengan jumlah empat kali lebih banyak daripada perkebunan. Maka perubahan dari hutan asli kepada perkebunan akan memperburuk pemanasan global. Alasannya adalah perkebunan dengan pohon yang telah direkayasa secara genetis akan mengurangi lignin sehingga menaikkan selulosa pohon, mempercepat pertumbuhan, tahan terhadap dingin (Eucalyptus), tahan terhadap serangga, menghasilkan produk lebih banyak (perkebunan sawit).
Persoalannya adalah pohon-pohon tersebut lebih cepat melepaskan CO2 dibandingkan pohon-pohon yang asli. Studi dan pembuatan model yang dilakukan oleh Universitas DUKE pada tahun 2004 menghasilkan temuan bahwa hutan di North Carolina, Amerika bagian tenggara dapat menyebarkan benihnya sampai ke Canada bagian timur, lebih dari 1200 kilometer. Hal ini menggambarkan potensi ancaman pohon-pohon dengan rekayasa genetik terhadap hutan asli. Kontaminasi hutan asli oleh pohon-pohon yang direkayasa secara genetis akan merusak dan mengganggu ekosistem hutan dan akan meningkatkan tingkat kematian hutan asli, kehilangan keanekaragaman hayati, dan bahkan memperburuk pemanasan global.
Salah satu kasusnya adalah kebakaran hutan yang terjadi di California baru-baru ini, dimana perkebunan pinus di California terbakar hebat dan ada usaha untuk menggantinya dengan perkebunan Eucalyptus yang telah direkayasan secara genetis. Sementara pohon eucalyptus merupakan pohon yang sangat mudah terbakar. Efek lainnya adalah cadangan air tanah yang akan berkurang, karena perkebunan Eucalyptus terbukti telah mengkonsumsi air permukaan serta air tanah yang menyebabkan situasi kekeringan.
Maka, ketika karbon yang dilepaskan melalui deforestasi serta kebakaran hutan dimasukkan dalam faktor penghitungan, biofuels yang berbasis kayu bukan lagi menjadi solusi bagi perubahan iklim, tetapi malah menjadi masalah.
Salah satu efek lain yang akan timbul adalah pengaruh terhadap masyarakat lokal / tradisional. Di mana masyarakat dengan pengetahuan lokal mereka untuk bertahan hidup harus menyesuaikan diri dengan hutan yang ’baru’. Juga studi terakhir menemukan bahwa pohon Eucalyptus merupakan rumah yang baik bagi jamur patogen yang cukup mematikan, yaitu Cryptococcus Gattii.
Belajar dari pengalaman tersebut di atas, maka kita perlu terus menjadi kritis terhadap kebijakan-kebijakan energi yang dikembangkan saat ini. Di satu sisi, perubahan iklim memang menjadi isu dan persoalan yang penting, juga persoalan kebutuhan energi. Tetapi juga harus dikritisi selalu, bahwa pemenuhan kebijakan energi ini harus dapat menjaga ekosistem yang ada dan juga membawa manfaat pada masyarakat lokal dan tradisional, bukan malah mengancam.
Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah penguatan-penguatan terutama di bidang riset dan teknologi di tingkat lokal, yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lokal dengan melibatkan masyarakat lokal dan tradisional, sehingga ilmu tentang perubahan iklim dan energi itu sendiri akan bermanfaat buat masyarakat lokal dan ekosistem.