Kanker servik jadi pembunuh wanita

Tahukah Anda, bahwa dalan setiap jam wanita di Indonesia meninggal akibat kanker serviks atau lebih dikenal dengan kanker mulut rahim. Bahkan dalam setiap menit wanita di seluruh dunia meninggal karna kanker yang mematikan ini.

Beda Hormon LH dan FSH

FSH dan LH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior, sebuah kelenjar kecil yang hadir di bagian bawah otak. FSH pada dasarnya menyebabkan pematangan sel telur di dalam folikel dalam tubuh wanita.

Manfaat Bawang Putih

Khasiat atau manfaat bawang putih ternyata tidak hanya untuk menyedapkan atau sebagai bumbu masakan saja, namun ternyata banyak hal lain yg dapat di manfaatkan dari bawang puth tersebut terutamanya untuk dunia kesehatan.

Toko Kayumanis

Selamat datang di Toko Kayumanis version Online Shop Kami menjual T-shirt, kaos oblong dan jaket T-shirt, kaos oblong dan jaket yang kami jual menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, kelebihan dari T-shirt, kaos oblong dan jaket di Toko kami dapat anda tentukan sendiri desainnya, pola ataupun grafisnya sesusai keinginan anda sehingga dapat dipastikan tidak ada T-shirt, kaos oblong dan jaket dari Toko kami yang mempunyai motif yang sama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 26 Juni 2011

Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal

Kanker serviks masih merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas kanker pada wanita di seluruh dunia.
Faktor risiko terpenting untuk terjadinya kanker serviks ini
berhubungan dengan adanya infeksi HPV dan perilaku seksual.
Faktor risiko lainnya seperti merokok, nutrisi dan kontrasepsi
hormonal berperan terhadap infeksi HPV dan dengan mekanisme
tertentu memperkuat terjadinya perubahan neoplastik.
Di negara yang telah melaksanakan, program penapisan
Tes Pap telah dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
akibat kanker serviks. Setiap tahun diperkirakan terdapat
500.000 kasus kanker serviks baru di seluruh dunia. 77% di
antaranya ada di negara-negara berkembang. Di Indonesia
diperkirakan sekitar 90-100 kasus kanker baru di antara
100.000 penduduk pertahun, atau sekitar 180.000 kasus baru
pertahun, dengan kanker ginekologik di tempat teratas. Di
Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta lebih dari 60% kasus kanker serviks
sudah berada dalam stadium lanjut dengan angka ketahanan
hidup yang sangat rendah. Diketahui bahwa pengobatan pada
tahap pra kanker (ASCUS, LGSIL, HGSIL, karsinoma in situ
dan lesi glanduler) memberi kesembuhan sampai 100%.
Dalam upaya ,menurunkan angka kejadian kanker serviks,
perlu disadari akan pentingnya pencegahan dan deteksi dini.
Pemeriksaan Tes Pap merupakan salah satu sarana untuk
deteksi dini kanker serviks.
Berbagai cara pelaporan Tes Pap telah kita kenal, mulai
dari klasifikasi Papaniculaou sampai terminologi ke sistem
Bethesda; sebaiknya seorang klinikus/Ahli Obstetri dan Ginekologi
mengetahui padanan dari berbagai terminologi tersebut,
sebab sampai saat ini di Indonesia tidak semua ahli patologi
anatomi menggunakan terminologi yang sama (belum menggunakan
sistem Bethesda). Yang terpenting adalah adanya
komunikasi yang baik antara ahli sitopatologi dan klinikus,
karenanya laporan sitologi harus dapat dimengerti oleh
klinikus yang akan menangani pasien selanjutnya.
Dalam makalah ini akan dijabarkan penatalaksanaan hasil
tes Pap abnormal. Seperti diketahui, hasil Tes Pap bukan
merupakan suatu diagnosis definitif untuk menentukan tindakan
operatif, pasien dengan hasil tes Pap abnormal harus terlebih
dahulu menjalani biopsi terarah dengan kolposkopi untuk
pemeriksaan histopatologi sehingga tidak merupakan tindakan
yang berlebihan (over treatment) ataupun kekurangan (under
treatment).

RAGAM TERMINOLOGI PELAPORAN SITOLOGI
Terminologi yang semula banyak digunakan dalam pelaporan
mengacu pada klasifikasi Papanicolaou (Papaniculaou
& Traut 1943) yang dinyatakan dalam kelas I - kelas V. Klasifikasi
ini banyak ditinggalkan karena:
(1) tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina,
(2) tidak memiliki padanan dengan terminologi histopatologi,
(3) tidak mencantumkan diagnosis non kanker,
(4) interpretasinya tidak seragam,
(5) tidak menunjukkan pernyataan diagnosis.

Pada tahun 1953, Reagen mengajukan terminologi displasia-
karsinoma insitu dan karsinoma invasif. Terminologi
ini terdiri atas negatif, displasia ringan, displasia keras, karsinoma
insitu dan karsinoma invasif. Penerimaan ahli patologi
terhadap terminologi ini cukup baik sehingga dipakai secara
luas. Kelemahan terminologi ini yakni adanya ketidak
sinambungan pengertian akibat adanya perbedaan antara
displasia keras dan kasinoma in situ. Untuk memperbaiki
kekurangan tersebut pada tahun 1967 Richart mengajukan
terminologi neoplasia intra-epitelial serviks (NIS) dengan
kategori NIS 1 sesuai dengan displasia ringan, NIS 2 sesuai
dengan displasia sedang dan NIS 3 sesuai dengan displasia
keras dan karsinoma insitu. Keluhan yang muncul terhadap
klasifikasi ini adalah pada NIS 1 yang menyatakan potensi
keganasan tetapi meliputi kelompok besar displasia ringan
yang sebagian besar hanya akibat peradangan.
Pada tahun 1988 dan 1991 pertemuan para ahli sitopatologi
melahirkan sistem Bethesda sebagai sistem pelaporan sitopatologi
baru yang bertujuan
(1) menghilangkan kelas-kelas Papaniculaou,
(2) menciptakan terminologi seragam memakai istilah diagnostik
(3) memasukkan pernyataan adekuasi dan
(4)membuat sitologi sebagai konsultasi medik antar ahli sitologi
dan klinikus.
Selain ini sistem Bethesda juga mengandung
unsur:
(1) komunikasi yang efektif antara ahli sitopatologi dan
dokter yang merujuk,
(2) mempermudah korelasi sitologihistopatologi,
(3) mempermudah penelitian epidemiologi, biologi dan patologi,
(4) data yang dapat dipercaya untuk analisis statistik nasional dan internasional. Kelebihan cara pelaporan The Bethesda System (TBS) adalah penyederhanaan
terminologi dengan memakai terminologi diagnostik yang jelas
untuk kategori umum:
(1) dalam batas normal,
(2) perubahan seluler jinak dan
(3) abnormalitas sel epitel.

TES PAP ABNORMAL DENGAN SISTEM PELAPORAN
BETHESDA SERTA PENATALAKSANAANNYA

1. Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance
(ASCUS)/Sel skuamosa atipik yang tidak dapat ditentukan
artinya.
Keadaan prakanker serviks mengalami banyak perubahan
dalam terminologinya. Pertemuan Bethesda menyuguhkan istilah
ASCUS dan Lesi Intraepitel Skuamosa (LIS) untuk pengertian
neoplasia serviks. ASCUS (Atypical squamous cells of
undetermined significance) yaitu istilah yang meliputi kelainan
seluler melebihi kelainan yang disebabkan perubahan reaktif/
inflamasi akan tetapi tidak termasuk dalam batasan lesi intraepitel.
Kriteria ASCUS termasuk pembesaran inti (2-3 kali dari
inti sel intermediate), ratio inti: sitoplasma sedikit meningkat,
variasi bentuk dan besar, dinding inti rata dan reguler,
kromatin halus sedikit hiperkromatik, inti ganda dan anak inti
ditemukan, termasuk di sini metaplasia atipik, atipia atrofi dan
pembesaran sel yang tidak disebabkan oleh peradangan.
Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium
sitologi untuk membedakan ASCUS cenderung ke arah
peradangan (ASCUS favoring inflammation) dan ASCUS cenderung
ke arah neoplasia (ASCUS favoring neoplasia). Hal ini
penting karena penatalaksanaannya sedikit berbeda; bila cenderung
ke arah peradangan mungkin dapat dilakukan follow up
saja tetapi bila cenderung ke arah neoplasia disarankan untuk
langsung dilakukan kolposkopi. Penanganan hasil tes Pap
ASCUS masih kontroversial. Perlu diketahui bahwa dari suatu
penelitian meta analisis diketahui bahwa sekitar 70% ASCUS
dapat regresi ke normal dan 7-8% menjadi progresif ke LIS
derajat berat sedangkan yang menjadi kanker invasif hanya
0,25%.Di beberapa negara maju dianjurkan untuk dilakukan
deteksi dengan pemeriksaan DNA HPV (Hybrid Capture II).

2. Low-Grade Squamous Cells of Intraepithelial Lesion
(LG-SIL)/Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah (LISDR).
Lesi intraepitel skuamosa (LIS) serviks uteri merupakan
suatu keadaan neoplastik yang masih terbatas di atas membran
sel. LIS dibagi menjadi dua kelompok; (1) LIS derajat rendah
dan (2) LIS derajat tinggi. LIS derajat rendah meliputi gambaran
infeksi virus HPV dan displasia ringan/NIS 1, sedangkan
LIS derajat tinggi merupakan keadaan displasia sedang/NIS 2
dan displasia berat-karsinoma insitu/NIS 3.
Bila didapatkan hasil tes Pap berupa suatu LIS derajat
rendah, termasuk di antaranya infeksi HPV dan displasia
ringan/NIS 1, ada dua pilihan penatalaksanaannya yaitu
dengan (1) segera melakukan pemeriksaan kolposkopi dan (2)
follow up tes Pap sitologi secara periodik. Berbeda dengan
penatalaksanaan dengan LIS derajat tinggi yang harus di follow
up dengan kolposkopi untuk konfirmasi histopatologi.
Di Subbagian Sitopatologi Obstetri dan Ginekologi FKUI/
RSCM hasil tes Pap LIS derajat rendah langsung diikuti
dengan pemeriksaan kolposkopi. Hal ini masih dilematis dan
kontroversial mengingat dari suatu hasil studi meta analisis
selama 24 bulan, sekitar 50% LIS derajat rendah menjadi
regresi ke normal, 20% menjadi progresif ke LIS derajat berat
dan hanya 0,15% menjadi kanker invasif. Sedangkan hanya
35% LIS derajat berat regresi menjadi normal, tetap LIS
derajat berat 24% dan menjadi kanker invasif 1,44%.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa makin rendah
derajat kelainan maka kemungkinan regresi menjadi normal
makin besar, sedangkan makin tinggi derajat kelainan, makin
mungkin progresif ke tingkat tinggi. Akan tetapi mengingat
hasil tes Pap mempunyai angka negatif palsu 5-50%, pada tes
Pap LIS derajat rendah, mungkin saja dengan biopsi terarah
sudah LIS derajat berat (15-40%), secara spontan menjadi
progresif (40-70%) dan mempunyai risiko menjadi kanker
invasif (1%).
Keuntungan melakukan kolposkopi segera pada LIS derajat
rendah adalah:
(1) kolposkopi dapat melakukan biopsi terarah
untuk mendapatkan diagnosis akurat histopatologi,
(2) kolposkopi mengurangi rentang waktu progresifitas lesi intraepitel
serviks (NIS) dalam melakukan follow up tes Pap dan
(3) kolposkopi dapat mendeteksi kemungkinan negatif palsu
dari sitologi, termasuk juga untuk memberi ketenangan pada
pasien.

3. High-Grade Squamous Cells Intraepithelial Lesion (HGSIL)/
Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi (LIS-DT).
Walaupun saat ini para ahli sepakat bahwa semua hasil
LIS derajat berat harus diterapi, tetapi masih terdapat kontroversi
pada aspek hubungan natural history, diagnosis dan pilihan
terapi untuk LIS derajat tinggi. Pendekatan terapi konservatif
pada lesi intraepitel non invasif serviks makin meningkat
dalam 15 tahun terakhir.
Di Subbagian Sitopatologi Obstetri dan Ginekologi
FKUI/RSCM pada tes Pap LIS derajat berat harus segera
diikuti pemeriksaan kolposkopi untuk menentukan derajat lesi
berdasarkan histopatologi.
Dengan penatalaksanaan optimal suatu LIS derajat berat
dapat dieradikasi sampai dengan 90% pada pengobatan pertama.
LIS derajat berat dapat diterapi dengan loop eksisi
diatermi atau eksisi laser tergantung dari keahlian seorang
ginekolog. Tetapi disarankan untuk melakukan terapi eksisi
laser konisasi pada lesi yang meluas sampai kanalis serviks dan
loop eksisi diatermi pada lesi yang jelas tampak pada ostium
eksternum. LIS derajat berat HGSIL Kolposkopi
Bila kolposkopi lesi memuaskan Bila kolposkopi lesi tidak memuaskan
dilakukan biopsi terarah dilakukan tindakan konisasi/LLETZ
untuk pemeriksaan histopatologi

4. Atypical Glandular Cells of Undetermined Significance
(AGUS)/Sel glanduler atipik yang tidak dapat ditentu-kan
artinya.
Hasil tes Pap AGUS merupakan indikasi untuk segera
melakukan pemeriksaan kolposkopi; pada suatu penelitian
lebih dari 36% hasil tes Pap AGUS berhubungan dengan lesi
invasif. Biasanya lesi tersebut berasal dari serviks, tetapi dapat
pula berasal dari endometrium atau sangat jarang berasal dari
ovarium. Bila AGUS cenderung ke arah neoplasia maka direkomendasikan
untuk melakukan kolposkopi, biopsi dan kuretase
endoserviks. Bila hasil pemeriksaan kolposkopi negatif
maka dianjurkan untuk melakukan konisasi. Angka positif
palsu pada tes Pap AGUS adalah sekitar 2%, tetapi pada
penelitian lain lebih tinggi. Akan tetapi pada wanita dengan tes
Pap sel glanduler abnormal sering disertai juga terdapat LIS
derajat berat/NIS 3, adenokarsinoma insitu atau kanker invasif.

5. Adenokarsinoma Insitu Serviks (AIS).
Adenokarsinoma insitu jarang ditemui tetapi kejadiannya
meningkat dari tahun ke tahun. Skrining kanker serviks dengan
tes Pap, dilanjutkan dengan kolposkopi dan terapi terhadap
abnormalitas prekanker secara nyata telah berhasil menurunkan
insiden kanker serviks sel skuamosa, sehingga penatalaksanaan
konserviatif juga meningkat. Walaupun kanker sel
skuamosa masih merupakan mayoritas kanker serviks, adenokarsinoma
sekarang tampak meningkat sampai 20% dari
seluruh kanker serviks. Skrining tidak berpengaruh terhadap
insiden adenokarsinoma serviks. Lesi prakanker sel glanduler
serviks sangat sulit ditentukan, baik secara sitologi maupun
dengan kolposkopi sekalipun. Akurasi sitologi serviks untuk
prediksi adanya kelainan glanduler hanya 50%.
Hal penting pada adenokarsinoma insitu adalah
(1) program skirining kanker serviks tidak mempunyai pengaruh
terhadap insiden adenokarsinoma invasif serviks,
(2) AIS jarang ditemui, lebih sering terdiagnosis setelah dilakukan
konisasi diagnostik serviks pada NIS 3,
(3) Sitologi hanya dapat memprediksi 50% kelainan glanduler, (tidak ada
gambaran khusus kolposkopi pada AIS),
(4) penatalaksanaan konservatif hanya dilakukan pada wanita yang masih memerlukan
reproduksi setelah diyakini dengan konisasi diagnosis
bebas tumor pada tepi sayatan dan memungkinkan untuk
melakukan follow up sitologi termasuk sampel yang akurat dari
kanalis servikalis.

Tes Pap masih merupakan sarana skrining yang mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk mendeteksi
dini lesi pra kanker dan infeksi HPV
Hasil tes Pap abnormal tidak dapat dijadikan dasar diagnosis
untuk suatu penatalaksanaan selanjutnya. Tindakan lanjut
dari suatu Tes Pap abnormal adalah dengan pemeriksaan kolposkopi
dan biopsi lesi dari serviks untuk pemeriksaan histopatologi,
yang merupakan diagnostik pasti untuk penatalaksanaan
definitif.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan