Kanker servik jadi pembunuh wanita

Tahukah Anda, bahwa dalan setiap jam wanita di Indonesia meninggal akibat kanker serviks atau lebih dikenal dengan kanker mulut rahim. Bahkan dalam setiap menit wanita di seluruh dunia meninggal karna kanker yang mematikan ini.

Beda Hormon LH dan FSH

FSH dan LH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior, sebuah kelenjar kecil yang hadir di bagian bawah otak. FSH pada dasarnya menyebabkan pematangan sel telur di dalam folikel dalam tubuh wanita.

Manfaat Bawang Putih

Khasiat atau manfaat bawang putih ternyata tidak hanya untuk menyedapkan atau sebagai bumbu masakan saja, namun ternyata banyak hal lain yg dapat di manfaatkan dari bawang puth tersebut terutamanya untuk dunia kesehatan.

Toko Kayumanis

Selamat datang di Toko Kayumanis version Online Shop Kami menjual T-shirt, kaos oblong dan jaket T-shirt, kaos oblong dan jaket yang kami jual menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, kelebihan dari T-shirt, kaos oblong dan jaket di Toko kami dapat anda tentukan sendiri desainnya, pola ataupun grafisnya sesusai keinginan anda sehingga dapat dipastikan tidak ada T-shirt, kaos oblong dan jaket dari Toko kami yang mempunyai motif yang sama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 20 Juni 2011

Dampak Pemberian ASI Eksklusif terhadap Penurunan Kesuburan seorang Wanita


Air Susu Ibu (ASI) memberi segala kebutuhan makanan
bayi, baik dari segi gizi, imunologis, maupun psikologis. ASI
juga memberi perlindungan obstetrik dan kontraseptif pada ibu.
Di beberapa negara sedang berkembang seperti Indonesia,
efek kontraseptif dari laktasi adalah salah satu cara pengaturan
kesuburan seorang wanita. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ASI dapat mempengaruhi lamanya amenorrhea dan
frekuensi ovulasi. Tingginya frekuensi pemberian ASI, lamanya
setiap pemberian, dan kurangnya frekuensi pemberian
makanan tambahan akan menurunkan kemung kinan terjadinya
ovulasi.
Pada wanita postpartum yang tidak memberikan ASInya,
Luteinizing Hormon (LH) dan Follicle Stimulating Hormon
(FSH) akan menurun sensitivitasnya terhadap Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) setidaknya 3 sampai 4 minggu
setelah persalinan dibandingkan wanita dengan siklus ovarium
yang normal. Sementara pada wanita yang memberikan
ASInya ovulasi tidak terjadi akibat pengaruh hormon Prolaktin;
pada wanita tersebut meskipun kadar Prolaktin telah
kembali normal seringkali amenorea tetap terjadi, diduga hal
ini disebabkan olah berkurangnya produksi GnRH oleh
hipotalamus.
Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya
ovulasi menurun hingga 1-5% pada pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan pertama postpartum, dan apabila pemberian
ASI dilanjutkan hingga bayinya berusia 2 tahun maka efek
kontrasepsi yang didapatnya hampir setara dengan penggunaan
sistem kalender ataupun sanggama terputus. Tetapi mengandalkan
proses laktasi saja sebagai metode kontrasepsi tentunya
tidak tepat karena pada 6% wanita yang menyusui bayinya
dan tidak menggunakan kontrasepsi dapat terjadi kehamilan.

ASI EKSKLUSIF
World Health Organization (WHO) merekomendasikan
bahwa semua bayi harus mendapat Air Susu Ibu (ASI) secara
eksklusif sejak lahir, sesegera mungkin (setengah hingga 1 jam
sejak lahir) sampai setidaknya usia 4 bulan dan bila mungkin
hingga usia 6 bulan. Yang dimaksudkan dengan ASI eksklusif
adalah pemberian ASI melulu tanpa disertai makanan atau
minuman tambahan yang lain. ASI harus diberikan sebanyak
dan sesering yang diinginkan oleh bayi, siang maupun malam,
setidaknya 8 kali.
Howie pada tahun 1981 menemukan bahwa ovulasi tidak
akan terjadi apabila laktasi yang ketat dipertahankan. Terdapat
berbagai penelitian dan konsensus internasional tentang hubungan
antara laktasi dan penurunan ovulasi tersebut. Di tahun
1988 di Bellagio, Italia, para ahli dari seluruh dunia mempelajari
bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan efek laktasi
terhadap infertilitas. Mereka menyimpulkan bahwa para wanita
yang tidak menggunakan kontrasepsi tetapi memberi ASI
eksklusif atau hampir eksklusif dan mengalami amenorea,
maka kemungkinan terjadinya kehamilan kurang dari 2%
dalam 6 bulan pertama postpartum (Concensus Statement
1988, Kennedy et al 1989). Berlanjut dari konsensus tersebut,
dilakukan berbagai penelitian untuk membuktikannya. Di
tahun 1988 di Chili dilakukan penelitian terhadap 422 wanita
postpartum; pada 221 wanita (56%) yang mengandalkan LAM
(Lactational Amenorrhoea Method) sebagai satu-satunya
metode kontrasepsi selama 6 bulan rasio kumulatif terjadinya
kehamilan adalah 0,45%, 1 kehamilan terjadi pada bulan ke 6
dan 3 kehamilan lainnya terjadi pada wanita yang telah
berhenti menggunakan metode LAM (Perez et al 1992).
Penelitian-penelitian lainnya di Mesir (Hefnawi et al 1977),
Bangladesh (Weis 1993), Ecuador (Wade et al, 1994), Rwanda
(Cooney et al 1996) mendukung efektivitas LAM tetapi tidak
mengukurnya.
Penelitian yang paling cermat tentang LAM sebagai metode
kontrasepsi telah dilakukan dalam tiga uji klinik. Yang
pertama yang dilakukan oleh Perez seperti yang telah disebutkan
di atas, yang kedua yang dilakukan oleh Kazi dkk, 1995,
di Pakistan dan yang ketiga dilakukan oleh Ramos di Philipina
1996. Mereka melaporkan bahwa rasio kehamilan tiap 100
wanita dalam jangka waktu 6 bulan penggunaan metode tersebut
secara tepat adalah 0,58 di Pakistan dan 0,97 di
Philipina. Penelitian ini memberi bukti yang meyakinkan
bahwa LAM adalah sungguh metode kontrasepsi yang efektif,
asalkan ketiga kriteria tersebut di bawah ini terpenuhi:

1. Ibu memberikan ASI eksklusif atau hampir eksklusif pada
bayinya. Pemberian harus mengikuti kemauan bayi (on
demand) baik siang mapun malam, dengan jarak tidak lebih
dari 6 jam antara pemberian ASI berikutnya.
Pemberian ASI yang tidak eksklusif ditandai dengan peningkatan
terjadinya ovulasi sebelum timbulnya menstruasi dan
berkurangnya lama amenorea.
2. Apabila setelah lebih dari 8 minggu postpartum timbul
menstruasi, maka kemungkinan ibu dapat mengalami kehamilan
akan meningkat. Untuk mendapatkan perlindungan kontraseptif
maka dianjurkan untuk menggunakan metode keluarga
berencana alternatif lainnya (sambil meneruskan pemberian
ASI untuk keperluan bayinya). Tetapi tidak selalu bahwa
perdarahan pervaginam dalam waktu 8 minggu postpartum
pada wanita yang memberikan ASI eksklusif berarti
kembalinya kesuburan (Visness dkk 1997).
3. Apabila bayi telah berusia 6 bulan lebih, kemungkinan
terjadinya kehamilan maningkat, bahkan bila ibu tetap
memberi ASI. Oleh karena itu ibu dianjurkan untuk memakai
metode lain yang lebih efektif. Penelitian juga dilakukan terhadap wanita Australia yang
menyusui dalam jangka waktu lama, aktivitas ovarium
ditentukan dengan mengukur progesteron dalam saliva, dan
ekskresi estrogen dan pregnandiol (Lewis et al 1991, Short et
al 1991). Mereka menyimpulkan bahwa LAM memberi
perlindungan kontraseptif yang aman dalam jangka waktu 6
bulan postpartum, bahkan pada wanita dengan gizi baik di
negara ber-kembang. Diaz dkk (1992) di Chili meneliti peran
anovulasi dan defek fase luteal terhadap infertilitas akibat
laktasi. Di-simpulkan bahwa, meskipun terjadi ovulasi, kondisi
endokrin yang abnormal pada fase luteal pertama memberikan
per-lindungan yang efektif pada wanita selama amenorea
laktasi dalam jangka waktu 6 bulan postpartum. Setelah fase
luteal membaik maka wanita itu mempunyai risiko hamil.

ANTAGONISME LAKTASI TERHADAP OVULASI
Selama masa laktasi, kadar prolaktin akan tetap tinggi
sebagai respon terhadap rangsang isapan bayi yang
berlangsung terus menerus. Kadar prolaktin yang tinggi
tersebut akan berefek pada otak dan ovarium.
Di otak, prolaktin yang sampai di hipothalamus akan
menimbulkan hambatan sekresi GnRH. Sedangkan kadar
estrogen, yang semula sangat tinggi selama persalinan karena
sekresi dari plasenta, akan mengalami penurunan setelah
terlepasnya plasenta; penurunan ini ternyata tidak mampu
merangsang hipothalamus untuk memacu sekresi GnRH, hal
ini mengisyaratkan adanya penurunan sensitivitas
hipothalamus terhadap mekanisme umpan balik positif oleh
estrogen selama laktasi (sebaliknya justru meningkatkan
umpan balik negatif); sementara di hipofisis anterior akan
terjadi penurunan sensi-tivitas terhadap rangsang oleh
hipothalamus. Akibatnya, kadar FSH dan LH akan rendah,
seperti pada awal masa folikuler dari siklus menstruasi(8).
Pada seorang wanita yang memberikan ASI eksklusif,
selama 6-8 minggu masa laktasi akan terjadi penurunan respon
LH terhadap GnRH, sementara respon FSH tetap normal,
meskipun demikian pada ovarium tidak terjadi fase folikuler
dan tidak terjadi sintesis estrogen. Sintesis estrogen akan
dimulai secara bertahap sejak bulan ke 4 postpartum pada
wanita yang memberikan ASInya, tetapi keadaan ini bervariasi
antara ibu menyusui yang satu dengan yang lainnya.
Pemberian GnRH atau hormon gonadotropin eksogen dalam
jumlah besar ternyata mampu merangsang perkembangan
folikel ovarium dan pembentukan hormon estrogen. Hal ini
meng-isyaratkan bahwa pada ovarium terjadi penurunan
sensitivitas terhadap hormon gonadotropin, mungkin karena
reseptor gonadotropin pada ovarium ditempati oleh prolaktin,
atau karena hambatan fungsi sel-sel theka oleh prolaktin. Hal
ini menerangkan efek kadar prolaktin yang tinggi terhadap
ovarium.
Jadi dapat disimpulkan bahwa prolaktin merupakan penyebab
utama anovulasi pada laktasi atau amenorea pada
laktasi, atas dasar efek penghambatan di tingkat otak maupun
ovarium sebagai berikut:

1. Penurunan sensitivitas hipothalamus terhadap umpan balik
positif dari estrogen.
2. Hambatan sekresi GnRH oleh hipothalamus.
3. Penurunan sekresi gonadotropin.
4. Penurunan sensitivitas ovarium terhadap gonadotropin.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas terdapat alternatif
penghambatan ovulasi yang lain oleh prolaktin yaitu
hambatan sintesis progesteron oleh sel-sel granulosa dan
perubahan rasio testosteron: dihidrotestosteron oleh prolaktin
sehingga berakibat penurunan zat-zat teraromatisasi yang
berarti peningkatan kadar zat antiestrogen lokal.
Kadar prolaktin yang tinggi menyebabkan umpan balik
positif jalur pendek terhadap sekresi dopamin oleh
hipothalamus. Kadar dopamin yang tinggi akan menurunkan
sekresi GnRH.Antara efek di otak dan di ovarium, tampaknya efek
hambatan ovulasi oleh prolaktin selama laktasi paling dominan
adalah penyebab di otak.
Lactational Amenorrhea (LAM) memberi efek pencegahan
yang baik terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan
selama 6 bulan pertama postpartum, bahkan pada wanita
dari negara-negara sedang berkembang dengan status gizi yang
baik. Menurut Diaz (1992), meskipun terjadi ovulasi, status
hormonal pada fase luteal yang pertama setelah ke-hamilan
dan persalinan belum kembali normal sehingga tetap
merupakan pencegahan yang efektif terhadap kemungkinan
terjadinya kehamilan(3). Sementara menurut Chatterton
(Sciarra, 1997) LAM tidak memberikan perlindungan total
terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan, sehingga pada
wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi selain
LAM dapat terjadi kehamilan meskipun tanpa didahului
timbulnya menstruasi sejak persalinan (3-15%)(10).
Probabilitas kumulatif terjadinya kehamilan digambarkan
dalam bentuk grafik oleh Short dkk, dengan kemungkinan
terjadinya kehamilan dalam 1 tahun sejak postpartum pada
wanita yang memberi ASI tapi tidak menggunakan kontrasepsi
lain adalah kecil pada 6 bulan pertama, tetapi kemungkinan itu
akan meningkat dengan cepat dan menjadi sama dengan wanita
yang tidak memberi ASI dan tidak menggunakan kontrasepsi
pada waktu sekitar 18 bulan postpartum. Hal ini berbanding
terbalik dengan persentase wanita dengan LAM, yang dengan
bertambahnya bulan-bulan postpartum akan makin jarang
jumlah wanita yang tetap berada dalam kondisi Lactational
Amenorhhea (LAM).
Kemungkinan terjadinya kehamilan tetap kecil (7%)
dalam tahun pertama postpartum apabila setelah timbul
menstruasi yang pertama, wanita tersebut menggunakan
metode kontrasepsi yang efektif.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN
MENCEGAH OVULASI DENGAN LAKTASI
Lactational Amenorrhea (LAM) merupakan metode
kontrasepsi yang efektif setidaknya dalam 6 bulan pertama
postpartum, dalam arti mencegah timbulnya ovulasi, apabila
pemberian ASI dilakukan secara eksklusif, setiap kali bayi
menginginkannya, baik siang maupun malam, dengan interval
tidak lebih dari 6 jam(3). Seperti telah dibicarakan sebelumnya,
kelancaran pemberian ASI tersebut dipengaruhi oleh banyak
hal, yaitu:

1. Rangsang sekresi pada permulaan pemberian ASI.
2. Kesinambungan sekresi ASI.
3. Pengeluaran ASI dari alveoli ke puting susu dan kemudian ke mulut bayi.
4. Kemampuan bayi untuk mengisap dan mencerna ASI.
Disebutkan bahwa laktasi tergantung pada rasa percaya
diri ibu; jika ibu mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu
memberikan ASI yang dibutuhkan oleh bayinya maka makin
besar kemungkinan keberhasilannya dalam menyusui. Seperti
telah dibahas sebelumnya bahwa permulaan sekresi ASI dan
kesinambungan sekresi ASI oleh sel-sel acinus kelenjar
mammae sangat tergantung pada pelepasan prolaktin dalam
jumlah yang cukup. Sekresi prolaktin oleh kelenjar hipofisis
dipacu oleh tingginya frekuensi isapan oleh bayi, dan dihambat
oleh rasa takut, cemas, nyeri, serta frekuensi menyusui
yang rendah dan tidak teratur.
Sering terjadi bahwa ibu merasa ASI yang diberikannya
tidak mencukupi kebutuhan bayinya, sehingga ibu meminta
nasehat pada orang lain, baik anggota keluarga, teman, atau
bahkan dokter. Maka dalam hal ini nasehat yang diberikan
pada ibu tersebut mempunyai makna yang sangat penting.
Kadangkala bahkan dokter memberikan nasehat yang tidak
tepat, misalnya dengan membatasi frekuensi pemberian ASI
dengan maksud agar tidak melelahkan ibu, membatasi lamanya
tiap kali pemberian ASI hanya 10 menit saja dengan tujuan
untuk menghindari erosi pada puting, dan menganjurkan ibu
untuk menimbang berat bayinya sebelum dan sesudah
menyusui dengan tujuan mengetahui banyaknya ASI yang
disusukan pada bayinya. Hal-hal seperti ini justru menambah
kecemasan pada ibu dan membatasi keleluasaan ibu dalam
menyusui, yang berakibat penekanan terhadap refleks let
down.
Selain itu pada masa ini anak-anak jarang menyaksikan
ibunya menyusui adik bayinya, sehingga di saat mereka
dewasa mereka tidak mempunyai contoh yang baik tentang
proses menyusui sebagai suatu proses yang alamiah. Maraknya
iklan dan promosi susu formula menimbulkan pemikiran baru
yang salah bahwa memberi susu formula jauh lebih
menguntungkan daripada memberi ASI. Pemberian susu
formula atau makanan tambahan sesaat sebelum bayi
mendapat ASI akan menyebabkan bayi merasa kenyang
terlebih dahulu, dan kurang aktif dalam mengisap ASI. Hal ini
akan mengurangi frekuensi refleks prolaktin dan refleks let
down.
Pada akhirnya, hal-hal tersebut di atas akan berakibat
pacuan terhadap produksi ASI menurun dan terjadi kegagalan
menyusui akibat penurunan jumlah ASI dan diikuti dengan
penghentian pemberian ASI.
Dukungan dari masyarakat dan keluarga serta tenaga
medis terhadap ibu yang menyusui dengan nasehat-nasehat
yang tepat dan tidak saling bertentangan akan membantu
mencegah penghentian laktasi yang terlalu dini.
Amenorea postpartum dapat berlangsung lebih lama
akibat malnutrisi pada ibu. Pada wanita yang sedang menyusui
ke-butuhan energinya meningkat dua kali lipat dibandingkan
sebelum periode laktasi, karena itu dengan porsi makanan yang
sama dengan sebelum menyusui dapat terjadi kese-imbangan
energi yang negatif, yang berakibat amenorea yang
berkepanjangan.
Pada masa laktasi terjadi pula peningkatan kebutuhan
kalsium untuk pembuatan ASI, yang menimbulkan peningkatan
absorbsi kalsium dan terjadinya dekalsifikasi tulang. Hal
ini memungkinkan terjadinya defisiensi kalsium relatif, yang
menimbulkan efek yang cukup berarti pada sekresi hormon
seperti hormon-hormon gonadotropin, yang dalam pelepasannya
memerlukan kerja dari protein kinase.
Jadi selain faktor internal dari ibu, faktor eksternal juga
ikut berpengaruh terhadap kelancaran pemberian ASI. Apabila
pemberian ASI sudah tidak lagi eksklusif maka kesuburan
seorang wanita akan segera kembali seperti sediakala sebelum
kehamilannya.
Menyusui adalah suatu proses alamiah yang besar artinya
bagi kesejahteraan bayi, ibu, dan keluarga. Alam telah menciptakan
bahwa dengan menyusui maka kesuburan ibu akan
menurun, dan penurunan kesuburan ini dapat menghindari
kehamilan berikut dalam interval waktu yang singkat. Dengan
demikian ibu dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya dan
kasih sayang bagi pertumbuhan bayinya, meringankan beban
keluarga dengan menghindari faktor risiko pada kehamilan
berikutnya, dan memberi kesempatan pada ibu untuk memulihkan
kondisinya setelah kehamilan dan persalinan.
Penurunan kesuburan ini terjadi akibat hambatan laktasi
terhadap ovulasi yang disebabkan oleh antagonisme antara
hormon-hormon yang mempengaruhi laktasi dengan hormonhormon
yang menimbulkan ovulasi. Hambatan itu terletak di
sentral maupun di perifer. Efek sentral atau di otak tampaknya
merupakan hambatan yang paling berperan dalam mencegah
ovulasi yaitu dengan adanya penurunan sensitivitas hipothalamus
terhadap umpan balik positif dari estrogen, hambatan
sekresi GnRH oleh hipothalamus, dan penurunan sekresi
gonadotropin oleh dominasi hormon prolaktin. Sementara efek
di perifer atau di ovarium adalah menurunnya sensitivitas
ovarium terhadap gonadotropin. Hal ini meskipun mempunyai
peran dalam pencegahan ovulasi tetapi efeknya tidak terlalu
berpengaruh, terbukti dengan adanya pemberian gonadotropin
eksogen dapat menekan laktasi dan memulihkan kembali
kesuburan seorang wanita.
Efek kontrasepsi dari laktasi atau yang dikenal dengan
istilah Lactation Amenorrhea (LAM) sangat tergantung dari
eksklusivitas pemberian ASI. Yang dimaksud dengan pemberian
ASI secara eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi
sejak sedini mungkin, setiap saat bayi menginginkannya,
sebanyak yang dibutuhkan oleh bayi, baik siang maupun
malam, tanpa diselingi pemberian susu formula atau makanan
tambah-an. Pemberian ASI eksklusif dapat menjamin kesinambungan
sekresi prolaktin yang merupakan hormon antagonis
terhadap ovulasi. Pemberian ASI eksklusif pada umumnya
dapat dilakukan hingga 6 bulan postpartum, selanjutnya bayi
perlu mendapat makanan tambahan; hal ini menyebabkan
pemberian ASI menjadi tidak eksklusif yang berarti
kembalinya kesuburan seorang wanita. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dengan LAM angka kejadian kehamilan
dalam 6 bulan pertama postpartum adalah kurang dari 2% atau
setara dengan penggunaan metode kontrasepsi efektif terpadu.
Sedangkan apabila setelah 6 bulan ibu melanjutkan dengan
metode kontrasepsi yang efektif, maka kemungkinan terjadinya
kehamilan dalam 1 tahun postpartum adalah 7% saja.
Dengan demikian LAM merupakan salah satu metode
kontrasepsi yang diakui, bahkan WHO di tahun 1998
mengeluarkan pegangan bagi penggunaan LAM sebagai salah
satu metode kontrasepsi bagi negara-negara di mana menyusui
dalam jangka waktu yang panjang merupakan hal yang lazim,
melalui Maternal and Newborn Health/Safe Motherhood Unit.
Pengakuan WHO ini berdasarkan banyak penelitian pendahuluan
tentang bukti-bukti bahwa LAM memang layak
diperhitungkan sebagai salah satu metode kontrasepsi.
Konferensi di Bellagio, Italia tahun 1995 mengukuhkan
dukungan terhadap LAM dan pemberian ASI eksklusif.
Petunjuk tentang penggunaan LAM disertai pula dengan
anjuran untuk meng-gunakan metode kontrasepsi segera
setelah masa 6 bulan postpartum dilewati.
Bagi seorang dokter penting untuk memahami mekanisme
hormonal yang terjadi selama laktasi dan selama ovulasi dan
bagaimana kedua hal tersebut dapat saling menghambat.
Dengan demikian kita dapat memberi nasehat yang tepat dan
bermanfaat bagi pasien yang ingin mencegah terjadinya kehamilan
segera setelah persalinan tetapi tidak mau menggunakan
metode kontrasepsi. Dengan dasar pengetahuan tentang LAM
pula kita dapat menganjurkan pada ibu kapan sebaiknya ibu
mulai menggunakan metode kontrasepsi yang efektif.

Artikel lainnya di Analisis Dunia Kesehatan